SERAYUNEWS— Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan AHY saat ini sedang mabuk kepayang. Kekuasaan telah mengubah sikap Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Kekuasaan bisa mengubah segalanya, dari benci jadi cinta, itu yang sepertinya yang terjadi pada AHY, dulu benci Jokowi sekarang memuji setengah mati,” kata Adi (3/3/2024).
Perubahan sikap Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang belakangan ini jadi sorotan.
Dulu, putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sangat kritis terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nyaris semua kebijakan Jokowi pasti dia kritik, anggap buruk, sehingga patut mendapat penolakan.
Namun, sekarang AHY sudah tak begitu lagi. Raut wajah yang ceria dan kerap menyanjung kinerja Presiden Jokowi. Perubahan sikap yang drastis ini terjadi usai AHY Presiden Jokowi daulat menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Petanahan National.
Selugu-lugunya orang Jawa dalam berpolitik, filosofi yen dipangku mati pasti dipahami. Filosofi ini berasal dari piwulang atau pengajaran yang termaktub dari aksara Jawa.
Setiap aksara Jawa yang mendapatkan pangkon maka akan mati. Hal yang sama juga kita dapati di dalam huruf Arab. Di dalam huruf hijaiyah, setiap huruf konsonan yang mendapat sukun akan mati.
Di dalam aksara jawa, aksara pa ketika dipangku (diberi pangkon) akan dibaca p dan bukan pa lagi. Vokalnya akan hilang. Hilang suaranya. Ia mati.
Pangku tidak bisa hanya memiliki makna memberikan paha untuk sandaran duduk, tapi juga ngudhang atau memuji; ngumbulke (meninggikan, membuat senang hati), nguja (memberi kenikmatan) adalah strategi orang Jawa di dalam bernegosiasi dan memenangkan konflik dengan membuat potensi bahaya menjadi terlena.
Musuh sebaiknya jangan kita musuhi. Dekatilah dia. Jangan memusuhi orang yang memusuhimu. Dekatilah musuh, dan kalau perlu, berikanlah jabatan dan kembalikan harga diri padanya. Ini namanya dipangku mati.
Filosofi pangku ini benar-benar Jokowi terapkan. Bahkan eksplisit dia katakan ini. Pada 2013, dia masih bukan siapa-siapa dan ungkapkan filosofi ini.
“Kita itu membaca lapangan, kita menganut filosofi pangku, masyarakat itu dipangku. Dipangku itu dienakkan, di depan. Mesti kan ada suara di kuping saya (ketika blusukan), misal ada Pak Camat belum ini, belum ini, tinggal catet ke Ivan, catet ke David (ajudan Jokowi),” kata Jokowi saat berbincang santai di Warung Sari Kuring SCBD, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2013).
Secara politis, Jokowi itu cerdik. Buktinya, dia bisa bertahan di pucuk kekuasaan di tengah tekanan bertubi-tubi.
Jokowi lebih suka membiarkan musuh-musuh politiknya untuk mengambil pekerjaan kotor, yang membuat pandangan negatif publik terisolasi tanpa mampu menjangkau terlalu jauh reputasi Jokowi. Selebihnya, Jokowi nyaris selalu mampu menemukan sinar terang dan sorotan kamera ketika dia berusaha merangkul lawan.*** (O Gozali)