Ini adalah sejarah di masa penjajahan Belanda. Kemajuan yang muncul di daerah Kabupaten Banyumas setelah adanya tanam paksa, ternyata tak terlalu memberikan kenikmatan pada Kota Banyumas (kini masuk wilayah Kecamatan Banyumas). Kota yang dinilai “terpencil” ini pada akhirnya ditenggelamkan oleh Purwokerto.
Pada mulanya, sistem tanam paksa yang dimulai 1830 oleh Belanda, telah mengubah banyak hal. Sejak masa itu, perekonomian bergeliat. Tentu perekonomian yang berpihak pada Belanda dan para pengusaha swasta.
Karena munculnya tanaman ekspor seperti tebu, muncullah pabrik gula pada 1889 di Purwareja Klampok. Mulanya, gula hasil produksi di Purwarejo Klampok dikirimkan ke Pelabuhan Cilacap melalui Sungai Serayu. Dari aliran Sungai Serayu, kemudian sampai ke Maos untuk kemudian dikirimkan melalui darat ke Pelabuhan Cilacap.
Tapi, kemudian pada 1895, dibangunlah jalur rel kereta dari Maos-Purwokerto-Sokaraja-Banjarsari-Purwareja Klampok-Banjarnegara. Sejak pembangunan itu, maka pengiriman gula untuk diekspor melalui Pelabuhan Cilacap, tak lagi melalui sungai tapi melalui darat lewat rel kereta.
Tahun 1898, perusahaan SDS meminta izin para pemerintah Hindia Belanda untuk membangun rel kereta dari Banjarsari ke Purbalingga. Hal itu direncanakan karena ada dua pabrik gula di daerah situ yakni di Kalimanah dan Bojong.
Pemerintah Hindia Belanda pun memberi syarat, SDS juga harus membuat jalur kereta di Kota Banyumas (daerah yang kini masuk Kecamatan Banyumas). Namun, SDS tak bisa menyanggupi dengan dalih bahwa pembangunan rel kereta di Kota Banyumas akan memakan banyak biaya.
Sekadar diketahui, keberadaan Kota Banyumas yang dikelilingi pegunungan memang menyulitkan untuk membuat rel kereta. Maka, sekalipun Kota Banyumas adalah pusat pemerintahan, tapi karena tidak adanya jalur kereta membuat daerah itu menjadi sepi.
Sepinya Kota Banyumas itu juga menjadi salah satu alasan daerah itu tak layak menjadi ibukota. Pada akhirnya, di tahun 1937, ibukota dipindah ke Purwokerto. Purwokerto pun makin maju. Selain ada jalur kereta, pada 1922, mulai beroperasi otobus di Purwokerto. Ketika jalur kereta Purwokerto terhubungkan ke jalur Jakarta dan Surabaya, maka Purwokerto menjadi makin ramai.
Sampai saat ini pun, Purwokerto lebih ramai daripada Banyumas (dalam hal ini wilayah Kecamatan Banyumas). Bahkan, dalam beberapa kesempatan, sebagian warga Kabupaten Banyumas lebih suka mengidentifikasikan diri sebagai orang Purwokerto, walaupun pada kenyataannya tempat tinggalnya tidak di Purwokerto, tapi masih di Kabupaten Banyumas.
Sekadar penegasan, pada masa kini, Kabupaten Banyumas beribukota di Purwokerto. Di sisi lain, di Kabupaten Banyumas juga ada Kecamatan Banyumas, yang dulunya adalah ibukota dan pusat pemerintahan.
Referensi
Diska Meizi Arinda, Ufi Saraswati, Abdul Muntholib. “Krisis Ekonomi di Banyumas 1930-1935 sampai Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Banyumas ke Purwokerto”.
Purnawan Basundoro. “Dinamika Pengangkutan di Banyumas pada Era Modernisasi Transportasi pada Awal Abad ke 20“