Purwokerto, serayunews.com
Plt Kepala Dinkes Kabupaten Banyumas, Djoko Setyono S.Sos mengatakan, dari data Dinkes tahun 2022 ini ada 3.946 orang yang terkonfirmasi positif TBC. Namun dari hasil temuan di lapangan, jumlahnya lebih banyak yaitu ada 4.372 orang.
“Angka tersebut setelah adanya tracking oleh berbagai pihak, baik petugas kesehatan maupun komunitas. Jika dari perspektif umum, jumlah penderita TBC termasuk memprihatinkan, bahkan Banyumas tertinggi di Jateng. Namun, jika dari sisi program penanggulangan, investigasi berjalan optimal dan kinerja penanggulangan berjalan dengan baik,” jelasnya, Senin (28/11/2022).
Kadinkes memaparkan, penderita TBC bisa sembuh dan TBC dapat dicegah, sebaliknya jika tidak segera ada penanganan bisa berakibat fatal. Bahkan sampai dengan kematian. Untuk tingkat kesembuhan pasien TBC di Kabupaten Banyumas mencapai 82 persen, angka tersebut di bawah rata-rata tingkat kesembuhan nasional yang mencapai 90 persen.
Penyebab belum maksimalnya angka kesembuhan ini, lanjut Djoko Setyono, karena banyak penderita yang tidak menuntaskan proses pengobatannya. Ketika sudah merasa kondisi membaik, maka obat tidak pasien habiskan dan hal ini berpotensi menyebabkan penyakit tersebut kambuh kembali.
“TBC bisa berakibat fatal jika tidak segera dapat pengobatan dan proses penularannya cepat. Terlebih saat dalam satu rumah ada yang terkena TBC, maka sangat berpotensi penghuni lainnya tertular, karena penularannya melalui droplet,” terangnya.
Gejala TBC antara lain, menderita batuk lebih dari 2 minggu beserta dahak atau darah, mengalami demam, nyeri pada bagian dada dan berkeringat pada malam hari. Dalam beberapa kasus, ada kecenderungan penderita TBC juga harus menanggung stigma masyarakat, yakni masyarakat menjauhi dan mengucilkan penderita TBC. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi psikis penderita, padahal dalam proses penyembuhan kondisi psikis dan mental yang kuat akan mampu meningkatkan imunitas.
Untuk proses pengobatan, butuh waktu yang cukup panjang dan selama proses tersebut, penderita harus rutin minum obat. Untuk pasien Sensitif Obat (SO) membutuhkan pengobatan sekitar 6 bulan dan untuk pasien Resiten Obat (RO) durasi pengobatannya lebih lama, yaitu sampai 2 tahun.
“Anggaran kita untuk penanganan TBC cukup besar, yaitu sampai Rp3 M dalam setahun untuk melakukan PCR. Jika terdeteksi dengan cepat, maka penanganan bisa lebih cepat pula. Kita terus berupaya untuk mengeliminasi TBC, karena dampaknya luas, termasuk ke sisi ekonomi juga,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Mentari Sehat Indonesia (MSI), Ibnu Hijrahman mengatakan, pihaknya berkomitmen membantu Dinkes dalam penanganan sampai dengan pendampingan pasien. Relawan MSI tersebar di kecamatan-kecamatan dan siap untuk mendampingi pasien TB sampai sembuh.
“Sebagian besar relawan kita juga merupakan kader Posyandu, sehingga untuk terjun dan melakukan sosialisasi serta pendampingan lebih mudah,” ucapnya.