SERAYUNEWS – Kabupaten Banyumas, khususnya wilayah Ajibarang, dahulu dikenal dengan padatnya jalur transportasi mikro bus yang menghubungkan berbagai daerah seperti Wangon, Purwokerto, dan Bumiayu.
Jalur ini pernah menjadi salah satu yang sibuk, dengan aktivitas mikro bus yang tinggi. Namun, kini, roda kehidupan transportasi umum tersebut mulai kehilangan tenaganya.
Suasana di terminal Ajibarang kini tak seramai masa kejayaannya. Beberapa unit mikro bus terlihat terparkir menunggu penumpang, namun tak ada yang datang.
Jalanan yang dulu dipenuhi kendaraan umum kini lebih didominasi oleh kendaraan pribadi dan sepeda motor.
Rute-rute utama seperti Ajibarang–Wangon, Ajibarang–Purwokerto, dan Ajibarang–Bumiayu hanya dilayani oleh sedikit mikro bus.
Bahkan, dalam satu jam, hanya ada satu atau dua unit yang melintas. Banyak supir yang lebih memilih untuk berhenti beroperasi karena biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh.
“Sekarang nyari penumpang susah, beda banget sama dulu. Dulu mah tinggal jalan, udah banyak yang naik. Sekarang kadang ngetem lama, tapi nggak ada yang naik juga,” ujar Sungkowo, salah satu supir mikro bus yang sudah puluhan tahun melayani rute Ajibarang–Wangon.
Kutipan tersebut diambil dari akun Instagram @ajibarang_keren yang menyoroti realita transportasi umum di daerah tersebut.
Masalah yang dihadapi oleh para supir mikro bus tidak hanya terkait dengan sepinya penumpang.
Kini, mereka juga harus mengoperasikan kendaraan seorang diri tanpa bantuan kenek. Hilangnya kenek menjadi pertanda lain dari mundurnya sektor transportasi umum tradisional ini.
Dulu, peran kenek sangat vital dalam menarik penumpang, memberi arahan, dan mempercepat proses naik-turun penumpang.
Tanpa mereka, supir harus bekerja lebih keras, mulai dari memanggil penumpang hingga menagih ongkos.
“Kalau dulu ada kenek, saya tinggal nyetir. Sekarang semua sendiri. Udah capek nyetir, masih harus mikir juga penumpang ada atau nggak,” lanjut Sungkowo.
Fenomena ini juga menunjukkan berkurangnya lapangan kerja di sektor transportasi umum. Anak-anak muda lebih memilih untuk bekerja di sektor lain, seperti ojek online, dibandingkan menjadi kenek atau supir mikro bus.
Dulu, puluhan mikro bus memenuhi jalur Ajibarang dan sekitarnya. Kini, jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari. Banyak armada yang mangkrak di rumah-rumah warga atau dijual karena tidak lagi menguntungkan.
Beberapa pemilik bahkan beralih profesi dan tidak lagi mengandalkan mikro bus sebagai sumber penghasilan utama.
Minimnya perhatian dari pemerintah dan kurangnya regulasi yang melindungi transportasi tradisional membuat keadaan semakin sulit.
Padahal, bagi sebagian warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi, mikro bus tetap menjadi alternatif utama menuju tempat kerja atau pasar.
Sayangnya, kemudahan transportasi online, meningkatnya kepemilikan sepeda motor, dan kondisi jalan yang kian padat membuat keberadaan mikro bus semakin tergerus.
Tanpa dukungan atau inovasi dari pemerintah daerah, besar kemungkinan transportasi ini akan benar-benar punah dari kawasan Ajibarang dan sekitarnya.***