SERAYUNEWS- Polemik tentang pesantren kembali mencuat setelah salah satu stasiun televisi nasional menayangkan program yang menggambarkan kehidupan santri dengan cara yang keliru.
Dalam tayangan itu, santri digambarkan “ngesot” di hadapan kiai dan ditafsirkan sebagai bentuk feodalisme serta ketundukan sosial.
Menurut Prof. Kholid Mawardi, Guru Besar Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, narasi tersebut menyesatkan dan menodai makna hakiki pesantren sebagai lembaga adab, ilmu, dan keikhlasan.
“Pesantren bukan ruang hierarki sosial antara yang kaya dan miskin, tetapi ruang spiritual antara yang mengajar dan yang belajar,” tegas Prof. Kholid.
Bagi masyarakat di luar pesantren, sikap santri yang menunduk, berjarak, atau mencium tangan kiai mungkin tampak berlebihan.
Namun bagi kalangan pesantren, semua itu adalah bentuk latihan hati untuk menundukkan ego dan menjemput berkah ilmu.
Tradisi ini berakar pada ajaran klasik dalam kitab Ta‘limul Muta‘allim karya Burhanuddin al-Zarnuji yang menekankan pentingnya adab sebagai syarat utama keberhasilan menuntut ilmu.
KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta‘allim juga mengingatkan, guru wajib mengajar dengan kasih sayang dan keikhlasan, sedangkan murid wajib beradab sebelum berilmu.
Hal serupa ditegaskan Ahmad Syakir dalam Washoya, bahwa ilmu harus dicari bukan untuk kekuasaan atau harta, melainkan untuk memperbaiki diri dan masyarakat.
Dalam pandangan Prof. Kholid, kiai bukan “raja kecil” di pesantren, melainkan penjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan para ulama.
Ia disebut waratsatul anbiya’ pewaris para nabi yang mengemban amanah untuk menyebarkan ilmu dengan penuh keikhlasan.
“Kiai tidak mengajar demi materi, tetapi karena panggilan batin untuk menyalurkan ilmu yang diamanahkan Allah,” ujarnya Wakil Dekan 1 Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora itu.
Sementara santri, lanjutnya, bukanlah budak spiritual, melainkan pencari ilmu (thalibul ‘ilm) yang dengan kerendahan hati berusaha membuka pintu hikmah.
Maka, perilaku seperti menunduk, berjalan jongkok, atau mencium tangan kiai adalah simbol penghormatan terhadap ilmu, bukan bentuk ketundukan sosial.
Prof. Kholid mengingatkan, banyak kesalahpahaman muncul karena sebagian kalangan menilai budaya pesantren menggunakan perspektif sosiologis Barat yang menekankan relasi kuasa.
Padahal, pesantren bergerak dalam logika spiritual bukan sosial-politik.
“Media sering merekam gerak tubuh, tetapi gagal menangkap getar adab di baliknya. Akibatnya, pesantren dipotret kolot, kiai dituduh feodal, santri dianggap tunduk membabi buta,” ungkapnya.
Ia menilai, framing seperti itu bukan hanya salah secara jurnalistik, tetapi juga mencerminkan kegagalan memahami kebudayaan spiritual bangsa sendiri.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, media seharusnya berperan sebagai penjembatan pemahaman, bukan penebar prasangka.
Kritik terhadap pesantren tentu sah, tetapi harus dilakukan dengan pengetahuan, empati, dan penghormatan terhadap tradisi Islam Nusantara.
“Pesantren itu bukan warisan masa lalu, tapi pelita moral bangsa,” kata Prof. Kholid. “Ia akan terus menyala, meski sebagian orang gagal memahaminya.”
Di tengah era digital yang sarat debat dan minim keteladanan, pesantren justru menawarkan nilai yang sangat modern: adab sebelum ilmu.
Bahwa kecerdasan tanpa kerendahan hati hanya akan melahirkan kesombongan, dan ilmu tanpa keikhlasan akan berubah menjadi alat perebutan kuasa.
Santri belajar setiap hari menundukkan diri bukan kepada manusia, tetapi kepada kebenaran. Mereka mewarisi tradisi ribuan ulama yang menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, bukan karier duniawi.