SERAYUNEWS- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah menerapkan program pelatihan ala militer bagi siswa yang dianggap ‘nakal’.
Para siswa tersebut masuk barak militer dan markas TNI guna menjalani pembinaan karakter.
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan sejumlah informasi menarik tentang gagasan Gubernur Dedi Mulyadi ini:
Program bagi anak-anak yang terlibat tawuran, balap liar, kecanduan gim daring, membangkang terhadap orang tua, atau menunjukkan perilaku menyimpang lainnya.
Menurut Dedi, pelatihan akan berlangsung selama 6-12 bulan dengan tetap mempertahankan status mereka sebagai pelajar.
Pembinaan mencakup pembentukan disiplin, pendidikan agama seperti puasa sunnah dan mengaji, serta pendampingan orang tua melalui pernyataan resmi dan proses pengantaran ke lokasi pelatihan.
Kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Komnas HAM menilai program ini berpotensi melanggar hak anak.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa pembinaan berkarakter bukanlah tugas institusi militer. Jika bukan melalui mekanisme hukum, maka itu di luar koridor yang sah.
Senada dengan Atnike, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai wacana tersebut perlu dikaji mendalam sebelum diimplementasikan secara luas.
“Setiap daerah punya karakter berbeda, perlu pendekatan yang sesuai,” katanya.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menegaskan bahwa solusi kenakalan siswa seharusnya melalui guru bimbingan konseling.
“Militerisasi dalam pendidikan bisa membawa konotasi negatif,” ujarnya.
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menilai pendekatan ini berpotensi menciptakan trauma militerisme dan intimidasi bagi siswa.
“Kenapa segala masalah harus ditangani militer?” tegasnya.
Berbeda dari kritik lain, TNI AD melalui Kadispenad Brigjen Wahyu Yudhayana menyatakan kesiapan mendukung program tersebut.
“Ini bagian dari operasi militer selain perang, sesuai undang-undang,” ucap Wahyu.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai bahkan mendorong agar program ini dilembagakan secara nasional.
“Kalau hasilnya baik, harus dijalankan secara masif. Ini pendidikan karakter, bukan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Meski masih dalam tahap uji coba, pelaksanaan telah mulai di dua lokasi: Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi di Bandung dan Resimen Artileri Medan 1 Kostrad di Purwakarta.
Total 69 siswa dari SMP dan SMA telah mengikuti program ini. Namun, Kota Depok sendiri belum menerapkan program tersebut.
Wali Kota Supian Suri menyatakan masih dalam tahap evaluasi anggaran dan studi banding ke Purwakarta.
“Mudah-mudahan tidak ada anak Depok yang sampai harus dikirim ke barak,” ucapnya.
Menanggapi kebijakan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengingatkan pentingnya mengikuti prosedur hukum dalam menangani siswa bermasalah.
“Kalau ada aturannya, jangan mengarang. Yang di bawah umur kembalikan ke orang tua, yang dewasa bisa diproses hukum,” katanya.
Meski menuai dukungan dari kalangan tertentu, termasuk TNI dan sebagian pejabat, gelombang kritik terhadap pendekatan militer dalam pendidikan masih terus bergulir.
Pertanyaan besar yang muncul: apakah ini solusi jangka panjang atau justru membuka luka baru dalam wajah pendidikan Indonesia?