SERAYUNEWS- Setiap musim haji, Indonesia mengirim lebih dari 200 ribu jemaah ke Arab Saudi, menjadikannya negara pengirim jemaah haji terbesar di dunia.
Namun di balik prestasi tersebut, terdapat persoalan ekonomi yang jarang jadi sorotan: mayoritas kebutuhan konsumsi jemaah Indonesia, seperti beras, ikan, hingga sayuran didatangkan dari negara lain, bukan dari Indonesia sendiri.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy dalam keterangannya menyebut, kondisi ini sebagai bentuk “kecolongan” ekonomi.
“Kondisi ini tentu merugikan Indonesia secara ekonomi. Setiap musim haji, lebih dari Rp 10 triliun dana untuk biaya operasional jemaah Indonesia, termasuk akomodasi, transportasi, dan konsumsi,” ujarnya Kamis (15/5/2025).
Menurut data Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), hingga 2023, total dana kelolaan haji Indonesia mencapai lebih dari Rp150 triliun, dan terus meningkat seiring jumlah pendaftar yang bertambah tiap tahun.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai berbagai komponen ibadah haji, termasuk akomodasi, transportasi, dan konsumsi jemaah selama di Arab Saudi.
Dalam konteks konsumsi saja, menurut Kementerian Agama, anggaran yang keluar bisa mencapai lebih dari Rp1 triliun per musim haji. Namun, sayangnya, sebagian besar produk yang dikonsumsi jemaah tidak berasal dari Indonesia.
Hal ini menyebabkan devisa negara yang seharusnya bisa berputar di dalam negeri justru dinikmati oleh negara lain seperti Vietnam, Brasil, hingga Filipina.
Lebih jauh, laporan Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah (LEKSI) 2023 dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa ekosistem ekonomi haji sesungguhnya mencakup berbagai sektor:
Dengan jumlah jemaah terbesar, seharusnya Indonesia dapat menjadi pelaku utama dalam ekosistem ini, bukan hanya sebagai penyumbang konsumen.
Menurut Dr. Ash-Shiddiqy, ada beberapa tantangan yang membuat produk Indonesia belum mampu menembus pasar konsumsi haji:
1. Standar dan Sertifikasi Halal Internasional
Arab Saudi memberlakukan standar kualitas dan kehalalan yang ketat melalui Saudi Food and Drug Authority (SFDA).
Produk makanan dari Indonesia harus melewati uji laboratorium dan memiliki sertifikasi halal dari lembaga yang diakui oleh Kerajaan Arab Saudi. Sayangnya, banyak produk Indonesia meski halal belum bersertifikat sesuai standar tersebut.
2. Biaya dan Infrastruktur Logistik yang Belum Optimal
Indonesia belum memiliki sistem logistik haji terintegrasi. Biaya pengiriman barang ke Arab Saudi masih tinggi, terutama untuk produk segar seperti sayuran dan daging.
Tidak adanya jalur khusus atau insentif ekspor membuat pelaku usaha enggan menggarap pasar ini.
3. Kurangnya Diplomasi Ekonomi Strategis
Negara seperti Turki dan Pakistan sudah lama menjalin kerja sama perdagangan khusus dengan Arab Saudi, bahkan memiliki MoU untuk suplai kebutuhan haji.
Indonesia masih minim diplomasi ekonomi dalam konteks penyelenggaraan haji, baik di sektor pangan maupun logistik.
Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan perlunya Indonesia membangun ekosistem ekonomi haji nasional yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Beberapa strategi utama yang bisa diterapkan adalah:
1. Pembentukan Klaster Industri Halal Berorientasi Ekspor
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan bisa mendorong terbentuknya kawasan industri halal yang fokus ekspor ke Timur Tengah, dengan spesialisasi produk untuk konsumsi jemaah haji.
Produknya harus memenuhi standar SFDA dan memiliki sertifikasi halal internasional.
2. Penguatan Diplomasi Ekonomi dan MoU Strategis
Pemerintah perlu menjalin kerja sama langsung dengan otoritas Arab Saudi dalam sektor logistik dan pangan.
MoU bilateral yang mencakup pasokan makanan, penginapan, hingga transportasi akan membuka jalan bagi pelaku usaha Indonesia masuk ke dalam ekosistem haji global.
3. Pemberdayaan UMKM dan Pesantren
UMKM bisa menjadi pemasok makanan kemasan halal, suvenir haji, serta produk herbal. Di sisi lain, pesantren dapat terlibatkan melalui penguatan unit usaha seperti koperasi syariah, usaha berbasis wakaf produktif, serta pelatihan kewirausahaan halal bagi santri.
4. Digitalisasi dan Inovasi Layanan Haji
Pengembangan startup syariah sangat penting untuk mendukung pelayanan ibadah haji secara modern. Contohnya:
5. Pembiayaan Syariah untuk Rantai Pasok
Lembaga keuangan syariah seperti BPKH, BSI, dan koperasi pesantren dapat menyediakan pembiayaan rantai pasok bagi produsen lokal yang ingin menjadi pemasok kebutuhan haji, seperti petani, nelayan, hingga industri rumah tangga halal.
Lebih dari sekadar peluang bisnis, pembangunan ekonomi haji harus di maknai sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi umat Islam Indonesia.
Dalam era ketergantungan global seperti saat ini, menjadi pelaku utama dalam rantai pasok haji adalah bentuk kemandirian yang sejati.
Dr. Ash-Shiddiqy menekankan bahwa nilai-nilai ekonomi syariah keadilan, keberlanjutan, pemerataan manfaat harus menjadi fondasi utama dalam membangun ekosistem ini.
Dengan demikian, manfaat ekonomi haji tidak hanya di nikmati segelintir pihak, tapi bisa tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan oleh ekonom syariah terkemuka, Dr. Muhammad Syafii Antonio, ekonomi haji adalah ladang emas yang selama ini terabaikan. Indonesia memiliki pasar terbesar, sumber daya melimpah, dan infrastruktur keuangan syariah yang cukup kuat.
Kini, tantangannya adalah menyatukan visi, strategi, dan aksi nyata. Pemerintah, pelaku usaha, pesantren, dan masyarakat harus bergandengan tangan membangun ekosistem ekonomi haji yang mandiri, halal, dan adil.
Dengan langkah nyata dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia tak hanya akan meraih manfaat ekonomi yang besar, tapi juga memperkuat posisinya sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Keberkahan ibadah haji pun tak hanya terrasakan secara spiritual, tapi juga ekonomi.