Ini tentang tradisi “membuang anak” di masyarakat Jawa. Tradisi ini masih ada yang menggunakan. Namun, di sisi lain, sepertinya sudah banyak yang meninggalkan. Apa sih tradisi “membuang anak” itu?
Jadi, tradisi ini dilakukan pada seorang anak yang baru lahir jika dia memiliki weton yang sama dengan anggota keluarga lainnya. Misalnya si anak lahir pada hari Rabu Pon, ternyata hari kelahiran itu sama dengan sang ayah, maka ritual “membuang anak” dilaksanakan. Kenapa harus ada ritual itu? Kepercayaan yang mengakar adalah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang.
Tapi ritual membuang anak ini bukan membuang anak seperti membuang benda mati, tentu tidak. Untuk jelasnya, aku ingin menceritakan salah satu teman yang mengalami ritual ini. Si teman ini lahir di hari dan pasaran yang sama dengan ayahnya. Karena itu, dia pun “dibuang” ke saudara ayahnya.
Si teman yang asli Banyumas ini kemudian “dibuang” ke pamannya yang ada di Sumatera. Jadi si teman ini kemudian hidup bersama pamannya di Sumatera sampai beberapa tahun. Baru kemudian setelah beberapa tahun hidup bersama pamannya, dia kembali ke rumah keluarganya di Banyumas.
Dikutip dari pikiran-rakyat.com, ritual “buang anak” ini juga pernah dilakukan oleh komedian Parto Patrio. Anak Parto yakni Amanda Caesa lahir di weton yang sama dengan Parto. Karena itu, Amanda pun “dibuang” ke mertua Parto. Hanya saja, pembuangan yang dilakukan Parto tak lama, tak sampai bertahun-tahun seperti cerita teman saya di atas.
Parto mengaku setelah Amanda lahir, dibawa sang mertua. Amanda dibawa ke rumah sang mertua. Kemudian, Parto dan istri menguntit di belakangnya. Setelah Amanda sampai di rumah mertua, Parto dan istri menebus Amanda dengan mahar tertentu.
Suliah dan Brata (2018) juga membuat tulisan ilmiah soal “tradisi buang” anak ini. Mereka meneliti “tradisi buang” anak di Desa Poncoharjo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Di Poncoharjo, ritualnya agak rinci dalam hal “buang anak”.
Perinciannya seperti ini. Jika anak lahir di weton yang sama dengan salah satu anggota keluarga, maka akan “dibuang”. Si anak akan “dibuang” di hari kelahirannya itu juga. Caranya, dukun bayi langsung membawa anak untuk ditempatkan di satu tempat tertentu yang aman. Misalnya di pojok rumah atau di mana.
Nah, siapa yang menemukan anak tersebut, akan menjadi pengasuh si anak. Di Poncoharjo, si pengasuh ini tidak boleh dari keluarga si anak, tapi harus orang lain, misalnya tetangga. Kemudian, jika anak itu laki-laki, maka diasuh sampai khitan hingga kemudian diambil oleh orangtua kandung. Saat pengambilan, orangtua kandung memberikan sesuatu pada si pengasuh anak. Jika anak itu perempuan, maka akan diambil ketika si anak akan menikah. Masyarakat di Poncoharjo percaya jika ritual itu tak dilakukan maka akan memberi dampak buruk pada keluarga.
Begitulah ritual “membuang anak” yang dipercaya sebagian orang Jawa. Di sisi lain, ada juga masyarakat Jawa yang tak melakukan hal itu dengan berbagai pertimbangan.
Referensi:
Suliyah dan Nugroho Trisnu Brata, Makna Simbolik Ritual Buang Anak di Desa Poncoharjo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak