SERAYUNEWS – Tradisi mudik yang erat kaitannya dengan bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri bukan hanya sekadar fenomena sosial. Namun, juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan.
Selain menjadi momen untuk mempererat silaturahmi, mudik juga memicu perputaran ekonomi yang besar di berbagai sektor. Mulai dari transportasi hingga usaha mikro di daerah.
Akademisi UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, menjelaskan bahwa tradisi mudik adalah perwujudan dari keterikatan emosional dan kultural antara individu dengan kampung halaman.
“Mudik bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga rekonsiliasi dengan identitas dan akar budaya. Ini adalah ritual tahunan yang memperkuat nilai-nilai kekeluargaan dan spiritualitas,” ujarnya.
Secara historis, mudik telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan. Perjalanan pulang kampung bukan hanya bertujuan untuk berkumpul dengan keluarga, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan tradisi yang diwariskan.
Dalam perspektif psikologi sosial, mudik memiliki dampak emosional yang kuat. Pasalnya, banyak perantau yang mengalami tekanan hidup di kota besar.
“Mudik menjadi momen terapi sosial di mana mereka bisa kembali ke lingkungan yang lebih familiar, bertemu orang tua, dan merasakan kedamaian,” tambah Dr. Muhammad.
Bulan Ramadan menjadi momentum yang semakin memperkuat tradisi mudik. Puasa tidak hanya mengajarkan ketahanan fisik tetapi juga refleksi diri.
Idul Fitri, yang berarti kembali ke kesucian, memberikan semangat bagi umat Islam untuk merajut silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman.
“Dalam Islam, silaturahmi memiliki nilai spiritual yang tinggi. Mudik adalah cara nyata bagi umat Muslim untuk menjalankan ajaran ini, yaitu mempererat hubungan dengan keluarga dan saling memaafkan,” jelasnya.
Selain aspek budaya dan spiritual, mudik juga memiliki peran strategis dalam ekonomi nasional. Setiap tahunnya, perputaran uang selama musim mudik mencapai miliaran rupiah. Sektor transportasi, perhotelan, dan UMKM menjadi penerima manfaat terbesar.
“Fenomena mudik menciptakan efek ekonomi berantai. Peningkatan konsumsi selama mudik berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama di daerah yang menjadi tujuan perantau,” imbuh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam itu.
Di tingkat mikro, pemudik sering membawa uang dari kota untuk dibelanjakan di kampung halaman. Hal ini kemudian menggerakkan ekonomi lokal.
Banyak usaha kecil seperti pedagang oleh-oleh, jasa transportasi, hingga akomodasi mengalami lonjakan pendapatan selama periode ini.
Tradisi mudik tidak hanya menjadi ritual tahunan yang mempererat hubungan sosial, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang luas.
Dari perspektif akademik, fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana budaya, spiritualitas, dan ekonomi saling bersinergi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
“Dengan memahami mudik dari berbagai aspek, kita dapat mengoptimalkan manfaatnya bagi individu maupun negara. Pemerintah dan masyarakat harus terus bersinergi agar tradisi ini tidak hanya lestari, tetapi juga memberikan dampak positif yang lebih besar,” tutupnya.***