SERAYUNEWS— Tragedi Sinila Dieng terjadi pada Selasa 20 Februari 1979. Tragedi ini merenggut nyawa 149 orang dan memaksa tak kurang dari 15.000 orang lainnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng bagian barat untuk mengungsi.
Penamaan tragedi Sinila, karena dentuman material dahsyat terjadi di Kawah Sinila. Penduduk sudah lama mengenal kawah ini, berbentuk cekungan bergaris tengah sekitar 50 meter yang terisi air menjadi sebuah telaga. Cekungan itu bernama Telaga Nila atau Telaga Sinila.
Kawah yang ini kurang populer dibandingkan kawah Candradimuka, Telaga Dringo, dan Sumur (kawah) Jalatunda. Penduduk mengenalnya sebagai kawah yang kalem. Akan tetapi, kesan kalem itu akan segera terhapus dengan tragedi ini.
Awalnya, terjadi rentetan tiga gempa dangkal berturut-turut mulai pukul 01.55 WIB dini hari dan terakhir pukul pada pukul 04:00. Gempa mengakibatkan retakan-retakan yang menembus cebakan-cebakan (reservoir) gas vulkanik di kedalaman sekitar 1 hingga 2 kilometer. Isi cebakan berupa gas karbondioksida (CO2) dan uap air bertekanan tinggi pun segera meraih jalan keluarnya, jalan termudah yaitu titik lemah yang berujung di Kawah Sinila.
Akhirnya, pukul 05:04 WIB, gas dan uap bertekanan tinggi membobol dasar Kawah Sinila dan dentuman menggelegar mengiringi. Material letusan pun menyembur tinggi hingga beberapa ratus meter, membentuk kolom coklat gelap meraksasa yang mendirikan bulu roma.
Bongkahan-bongkahan tanah dan bebatuan hingga seukuran 40 sentimeter mulai terlontar hingga sejarak 150 meter dari kawah. Bisa kita bayangkan horornya tragedi ini.
Tak lama kemudian, ada semburan kedua. Horor kian mencekam saat tanah sejarak 250 meter di sebelah barat-barat daya kawah Sinila mendadak berlubang. Kawah baru ini menyemburkan material letusan dan kepulan uap pekat.
Suara petir gemuruh bersuara gludug. Oleh karena itu, kawah baru ini mendapatkan nama Kawah Sigluduk. Kedua kawah ini kemudian mengeluarkan lahar mengikuti alur sungai.
Warga enam desa yang mengitari kedua kawah tersebut pun mengungsi, termasuk desa Kepucukan. Namun, tanpa penduduk Kepucukan sadari, takdir kebumian menempatkan mereka dalam simalakama.
Sebagian warga Kepucukan berpikir tak mungkin mengungsi ke utara, karena di sana ada Kawah Sinila dan Kawah Sigludug. Tidak mungkin juga ke timur karena lahar Sinila telah memutus jalur tersebut. Pilihan rasional yang tersedia adalah ke barat. Akan tetapi tak satupun menyadari bahwa jalur barat yang dikira aman sesungguhnya adalah jalur maut.
Gas CO2 yang mematikan justru muncul di sekitar Kawah Timbang. Tak terelakkan lagi, dalam tempo singkat barisan menyusuri jalan raya utama Dieng menjelang kompleks makam (bong) Cina bertumbangan di tempatnya masing-masing. Mereka pingsan, lalu meregang nyawa.
Sisanya, yang melihat barisan bagian depan gugur, sontak berbalik arah kembali ke Kepucukan. Tanpa orang sadari, liang-liang kecil yang sama juga bermunculan di sekitar SD Inpres Kepucukan. Tak pelak, CO2 pun menyambar-nyambar. Sebanyak 145 orang meregang nyawa. Korban masih bertambah saat evakuasi, 4 relawan ikut menjadi korban jiwa.
Beberapa bulan kemudian pemerintah Kabupaten Banjarnegara mengambil keputusan menghapus Desa Kepucukan secara administratif. Sebagian dari mereka mengikuti program transmigrasi ke pulau Sumatra. Sebagian lainnya berpindah tempat tinggal ke desa-desa tetangga.
Perhatian besar pun tertuju ke kawasan Dataran Tinggi Dieng, dataran tinggi tertinggi kedua di dunia setelah Dataran Tinggi Tibet. Penyanyi Ebiet G Ade bahkan mengabadikan tragedi ini dengan apik dalam lagunya “Berita kepada Kawan” di album Camelia III.*** (O Gozali)