SERAYUNEWS- Healing dulu, ah. Kalimat ini seolah jadi mantra wajib setiap kali seseorang merasa penat, jenuh, atau sekadar ingin kabur dari rutinitas.
Di era media sosial, istilah healing begitu melekat pada generasi muda, terutama Gen Z. Namun, sebenarnya, healing ini masih sesuai makna asli atau sudah bergeser jadi sekadar tren yang berbalut estetika?
Secara harfiah, healing berarti proses penyembuhan, baik fisik, emosional, maupun mental.
Dalam konteks kesehatan mental, healing merujuk pada upaya seseorang untuk memulihkan diri dari stres, trauma, atau kelelahan batin.
Namun, kini istilah ini seolah berubah makna. Healing bisa berarti jalan-jalan ke tempat estetik, nongkrong di kafe kekinian, staycation di hotel, bahkan belanja online.
Unggahan bertema healing membanjiri Instagram, TikTok, hingga Twitter. Suara deburan ombak, secangkir matcha, atau pemandangan sawah disertai caption butuh healing jadi pemandangan yang akrab.
Tak jarang, makna healing berubah jadi ajang pembuktian eksistensi—jika belum healing, belum keren.
Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara berpikir dan bertindak generasi muda.
Bagi banyak anak muda saat ini, healing identik dengan me time. Namun, bentuknya tidak harus selalu bepergian.
Ada yang merasa cukup dengan mendengarkan musik, menonton film, atau tidur siang tanpa gangguan.
Sementara itu, sebagian lain lebih memilih suasana baru di tempat yang estetik dan tenang sebagai bentuk pelarian dari penatnya rutinitas.
Namun, media sosial kerap menciptakan tekanan tersendiri. Tren healing bisa jadi bumerang ketika seseorang merasa harus ikut-ikutan, meski tak benar-benar butuh.
Bahkan, sebagian merasa bersalah jika tidak bisa healing dengan cara yang standar Instagram. Selain itu, ada pergeseran makna yang cukup mencolok.
Jika dulu healing identik dengan proses mendalam dan reflektif, kini banyak yang menyamakannya dengan kegiatan santai atau konsumtif.
Meski begitu, tak semua tren healing bersifat negatif. Beberapa di antaranya justru menginspirasi orang untuk lebih memperhatikan kondisi mental dan memberi waktu untuk diri sendiri.
Fenomena healing ini juga memunculkan pertanyaan, apakah ini bentuk perawatan diri atau justru budaya konsumtif terselubung?
Banyak pelaku usaha pariwisata, kafe, hingga e-commerce menggunakan kata healing sebagai strategi promosi. Produk dan jasa dijual dengan embel-embel teman healing.
Padahal, esensi healing tidak selalu berkaitan dengan pengeluaran besar. Healing sejati justru bisa ditemukan dalam aktivitas sederhana.
Berbicara dengan orang terdekat, menulis jurnal, atau sekadar duduk diam menikmati senja bisa jadi pilihan. Jika orientasi bergeser ke tren dan konsumsi, healing bisa kehilangan makna.
Yang menarik, tren ini juga menyoroti sisi positif dari meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Jika dulu hal-hal seperti terapi atau istirahat emosional dianggap tabu, kini sudah mulai diterima sebagai bagian penting dalam kehidupan.
Artinya, tren healing bisa menjadi langkah awal menuju generasi yang lebih peduli terhadap kesejahteraan batin.
Pada akhirnya, healing adalah perjalanan yang sangat personal. Tidak perlu validasi orang lain, tidak harus terlihat sempurna di media sosial.
Gen Z perlu menyadari bahwa penyembuhan diri tidak selalu harus dipamerkan. Yang terpenting adalah merasakan manfaatnya secara nyata—tenang, damai, dan lebih mengenal diri sendiri.
Jadi, healing versi kamu itu cari damai atau sekadar gaya?***