SERAYUNEWS – Band punk Sukatani asal Purbalingga saat ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena kontroversi lagu “Bayar Bayar Bayar” yang mengkritisi praktik pungutan liar oleh oknum aparat.
Banyak yang penasaran mengenai sosok Novi Citra Indriyati, sang vokalis yang memiliki nama panggung Twister Angel.
Selain sebagai musisi, Novi juga dikenal sebagai mantan guru di sebuah sekolah dasar di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Bersama gitaris Muhammad Syifa Al Lutfi, Novi membentuk duo Sukatani pada 2022. Nama grup band “Sukatani” dipilih sebagai representasi kecintaan mereka terhadap kehidupan agraris.
Band ini mengusung genre post-punk dengan sentuhan new wave serta menghadirkan lirik berbahasa Banyumasan yang merefleksikan akar budaya mereka.
Album debut mereka, Gelap Gempita, dirilis pada Juli 2023 dan mendapat apresiasi luas di kalangan penikmat musik independen.
Salah satu lagu dalam album tersebut, “Bayar Bayar Bayar,” viral karena liriknya yang mengkritik praktik pungutan liar oleh oknum aparat.
Popularitas lagu “Bayar Bayar Bayar” membawa konsekuensi besar bagi Novi. Setelah lagu tersebut viral, muncul laporan bahwa Novi diberhentikan dari posisinya sebagai guru di sebuah sekolah dasar di Banjarnegara.
Kabar pemecatan ini diduga dipicu oleh tekanan dari pihak tertentu akibat kontroversi yang ditimbulkan lagu tersebut. Menanggapi situasi ini, Bupati Purbalingga, Fahmi Muhammad Hanif, juga menyatakan kesiapannya untuk menerima Novi.
Sang vokalis Sukatani, Novi, dipersilakan mengajar di sekolah-sekolah di Purbalingga sebagai bentuk dukungan terhadap kebebasan berekspresi serta kontribusinya dalam bidang pendidikan dan musik.
Terlepas dari berbagai tantangan, Novi tetap berkomitmen pada musik dan pendidikan. Sebagai vokalis Sukatani, ia terus menyuarakan pesan sosial melalui musiknya sekaligus menginspirasi generasi muda untuk berani bersuara dan berkarya.
Dukungan dari komunitas musik, pemerintah daerah, dan masyarakat luas menjadi bukti bahwa dedikasi serta keberanian Novi mendapatkan tempat di hati banyak orang.
Kasus yang menimpa Novi mendapat dukungan luas dari berbagai pihak. Salah satu testimoni datang dari akun X (dulu Twitter) dengan nama @direktoridosen. Dia menyebut bahwa Novi adalah alumni PGSD/MI IAIN/UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto.
“Kak Novi Citra ini alumni PGSD/MI IAIN/UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto. Wajar jiwa seninya kuat, PGSD memang lekat dengan seni. Teman-teman di Banjarnegara & sekitarnya, kalau butuh guru berkualitas, Novi ini jawabannya,” tulisnya, dikutip Serayunews.com, Minggu (23/2/2025).
Pemilik akun Dosen Kesayanganmu juga menilai bahwa sosok Novi Citra adalah cerminan banyak pendidik yang kebetulan suka bermusik dan terlibat dalam Sukatani.
“Kebetulan saja dia mengkritik polisi, langsung kena bredel karyanya. Jelas hati kita semua harus bersedih & wajib memberikan dukungan ke Bu Novi Citra,” tulisnya lagi.
Dia juga menegaskan bahwa Novi bukan satu-satunya pihak yang terdampak, tetapi sekolah tempatnya mengajar juga menjadi korban.
“Testimoni tentang Bu Novi. Rupanya dia adalah guru yang sangat keren. Oh iya, Bu Novi dan SD tempat dia ngajar, keduanya adalah korban ya. Jangan ada yang ganggu SD-nya,” pintanya.
Menanggapi unggahan itu, pemilik akun @lantip turut membagikan skripsi Novi di Kampus UIN Saizu Purwokerto yang dulu masih bernama IAIN Purwokerto. Dia menegaskan bahwa punk bukan sekadar gaya hidup, tetapi sebuah ideologi.
“Skripsinya Mbak Novi, vokalisnya Sukatani, menegaskan bahwa punk itu ideologi, bukan soal penampilan dan atribut diri,” tulisnya sembari melampirkan dokumentasi sampul skripsi Novi.
Dari cover skripsi yang dibagikan, tampak Novi membuat penelitian tentang “Pengembangan Bakat Seni Musik melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Musik di MIN Purwokerto Kabupaten Banyumas.”
Dia juga mengutip motto Wiji Thukul: “Keberanian itu butuh dilatih, bukan datang tiba-tiba seperti wahyu Tuhan.” Postingan itu mendapat respons ribuan tayangan warganet.
Dukungan ini menunjukkan bahwa Novi bukan hanya musisi, tetapi juga pendidik yang dihormati dan diakui kualitasnya.
Kasusnya menjadi simbol perlawanan terhadap pembungkaman ekspresi dalam dunia pendidikan dan seni.***