SERAYUNEWS— Berdasarkan hukum Indonesia, Undang-Undang (UU) No.17/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang terhadap PDB Indonesia tidak boleh melebihi 60%. Kemudian, posisi saat ini rasio utang Indonesia 39% terhadap PDB.
Terkait kondisi tersebut, Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto Djojohadikusumo, mengutarakan wacana peningkatan rasio utang hingga 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Hashim mengatakan peningkatan rasio utang hingga 50% PDB akan bersamaan dengan peningkatan penerimaan negara. Kemudian, kebijakan ini bertujuan untuk mendanai program ambisius Prabowo, salah satunya makan bergizi gratis.
“Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50% adalah tindakan yang bijaksana,” kata Hashim dalam wawancara di London kepada Financial Times, Kamis (11/7/2024).
Terhadap pendapat Hasim tersebut, Ketua Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan komitmen Prabowo untuk tidak menaikan rasio utang.
Menurutnya, pemerintahan Prabowo tetap menjaga batasan defisit APBN 2025 sebesar 3% dari PDB. Ia memastikan bahwa rasio utang terhadap PDB dalam APBN 2025 tetap pemerintah pertahankan sesuai dengan level selama ini, yakni di kisaran 30%.
“Pemerintah tetap teguh pada komitmennya terhadap pengelolaan fiskal yang berkelanjutan dan hati-hati,” kata Dasco (11/7/2024).
Sementara itu, Dasco menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo akan melanjutkan disiplin fiskal pemerintahan Jokowi.
“Tujuan utamanya meliputi: Menaati praktik kehati-hatian dengan membatasi defisit sebesar 3,0%; Mempertahankan rasio utang terhadap PDB dalam status quo; Melanjutkan disiplin fiskal yang telah ditetapkan pada masa pemerintahan Jokowi,” ujarnya.
Ekonom senior Faisal Basri pun memberi tanggapan wacana ini. Kemudian, menurutnya, rencana tersebut bisa berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi makro Indonesia.
“Kalau dipaksakan, ya siap-siap aja makro stabilitasnya goyang,” kata Faisal Basri pada Jumat, (12/7/2024).
Faisal menuturkan pembatasan jumlah utang negara bertujuan untuk disiplin fiskal. Menurutnya, apabila pengeluaran mau naik, harus ada upaya yang sama untuk meningkatkan pendapatan.
Ia mengatakan sungguh keliru membandingkan rasio utang Indonesia, dengan utang negara lain, seperti Amerika Serikat yang di atas 100% atau Jepang yang 250% dari GDP. Selain itu, negara-negara tersebut memiliki rasio perpajakan di atas 30%.
Apabila rencana menaikan rasio utang menjadi 50% itu benar-benar terjadi, Faisal mengibaratkan ekonomi Indonesia akan seperti mobil tanpa rem.
“Digas terus, remnya tidak ada,” katanya.***(O Gozali)