SERAYUNEWS– Lima puluh tujuh tahun menjadi pegiat seni tradisi lengger, kilas riwayat Narsihati yang akrab disapa Narsih diangkat dalam pertunjukan tari berjudul Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan. Pementasan tari tersebut akan dilangsungkan pada Selasa, 30 September 2025 di Hetero Space Purwokerto pukul 19.30 WIB .
Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan, merupakan bagian dari program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan (FPK) Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X yang diterima oleh Yayasan Singa Tirta Mas, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas.
Ketua Yayasan Singa Tirta Mas, Suchedi mengatakan bahwa sosok Narsih memang tidak bisa dipisahkan dari seni tradisi lengger. Sejak 1972, perempuan yang kini berusia 60 tahun itu, telah menari sejak usia 7 tahun, dan mereguk pengalaman yang membuatnya memiliki pemahaman mendalam terkait seluk beluk lengger yang berpaut dengan ritual-ritual terkait ritus kesuburan, serta pakem pola pertunjukan dengan iringan gendhing tertentu.
“Pertunjukan ini akan mengisahkan pengalaman lengger Narsih sebagai tokoh lengger yang diperlukan kehadirannya sebagai unsur penting dalam upacara ritus kesuburan (agricultures ceremonies),” kata Suchedi dalam release yang dikirim ke serayunews.com, Minggu (28/9/2025).
Ritus kesuburan yang secara khusus diangkat yakni Baritan. Di masa silam, Baritan difungsikan oleh masyarakat Banyumas untuk menolak bala. Dalam pertunjukan Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan, akan dikisahkan peran Narsih yang membantu seorang petani muda yang mengalami ancaman gagal panen dengan menggelar ritus baritan.
“Harapan kami, pertunjukan ini dapat menyediakan informasi dengan pendekatan kreatif terkait lengger sebagai unsur penting ritus masyarakat agraris di Banyumas. Semoga dapat dimanfaatkan untuk bahan kajian khazanah sejarah, perkembangan wacana terkait seni tradisi lengger,” ujar Suchedi.
Sutradara Memoar Lengger Narsih: Ritus Baritan, Abdul Aziz Rasjid mengatakan untuk membangun suasana ritus baritan, panggung pertunjukan didesain sebagaimana upacara baritan dilangsungkan di masa silam, yakni gubuk tanpa dinding dengan tiang pancang dari bambu. Pada tiang-tiang bambu dihias dengan dedaunan dan buah-buahan antara lain terdiri dari: batang pisang raja dan buahnya, janur kuning, kelapa gading, tebu, serta daun beringin.
“Gambaran tentang ritus baritan ini dirujuk dari buku buku Lengger Tradisi & Transformasi (Yayasan Untuk Indonesia & Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2000) karya Sunaryadi. Biyung Narsih juga menjadi salah satu nara sumber di buku yang telah menjadi pustaka rujukan terkait khazanah dan perkembangan wacana lengger,” kata Aziz.
Pertunjukan ini juga hendak mengangkat sosok Narsih lengger yang memposisikan diri sebagai wali penjaga tilas ing wuri-wuri; penjaga peninggalan tradisi lengger di masa lalu bagi suatu masa di kemudian hari. Posisi ini menjejak dalam keaktifan Narsih mengelola sanggar Ngudi Luwesing Salira untuk melatih tari lengger klasik ke anak-anak serta remaja, dan mendirikan grup calung yang mengedepankan keterlibatan aktif perempuan di sekitar desa Pegalongan tempat ia tinggal.
“Pertunjukan akan terbagi dalam empat babak sesuai pakem lengger klasik yakni klenengan, lenggeran, badhutan dan baladewan. Narsih akan menjadi penari lengger utama diiringi dengan penayagan calung yang mayoritas beranggota perempuan sebagai simbolisasi praktik berkesenian Narsih yang mengedepankan keterlibatan aktif perempuan,” imbuhnya.