SERAYUNEWS- Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menjadi bahan perdebatan luas di ruang publik.
Kebijakan ini bukan hanya menyentuh ranah hukum, tetapi juga memunculkan kritik etis dan analisis mendalam dari kalangan akademisi. Termasuk Akademisi sekaligus Pengamat dari UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy.
Pertanyaan pun mencuat: apakah langkah presiden ini sah secara konstitusional? Apa makna abolisi dan amnesti dalam sistem hukum Indonesia? Bagaimana Islam, khususnya melalui pendekatan siyasah syar’iyyah, memandang keputusan politik semacam ini?
Dalam konstitusi Indonesia, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden yang diatur secara tegas dalam Pasal 14 UUD 1945.
Amnesti berarti pengampunan kolektif terhadap tindak pidana, khususnya yang bermuatan politis. Penerima amnesti dianggap telah melakukan pelanggaran, tetapi dihapuskan akibat pertimbangan khusus, seperti rekonsiliasi nasional.
Abolisi, di sisi lain, merupakan penghapusan proses hukum terhadap individu yang belum memperoleh putusan pengadilan. Biasanya dikeluarkan untuk kepentingan kemaslahatan umum dan stabilitas nasional.
“Dalam kasus ini, Hasto Kristiyanto telah mendapat vonis bersalah namun dianggap layak mendapat amnesti, karena pertimbangan politik dan rekonsiliasi nasional,” tulis keterangannya, Jumat (1/8/2025).
Adapun Tom Lembong, yang tengah menjalani proses hukum dalam kasus impor gula, memperoleh abolisi karena dinilai memiliki kontribusi dan prestasi dalam dunia perdagangan dan investasi.
Presiden Prabowo tidak bertindak tanpa dasar hukum. Pemberian amnesti dan abolisi memiliki payung hukum kuat, antara lain:
⦁ Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945: Presiden memberi abolisi dengan pertimbangan DPR.
⦁ Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954: Mengatur pemberian amnesti dan abolisi demi kepentingan negara, dengan nasihat Mahkamah Agung.
⦁ Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2005: Menjadi preseden saat abolisi diberikan kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dalam kasus terkini, mekanisme pemberian abolisi dan amnesti telah melalui tahapan formal, mulai dari pengajuan ke DPR, pertimbangan Mahkamah Agung, hingga persetujuan legislatif.
Langkah ini mencerminkan upaya rekonsiliasi politik dan stabilitas nasional.
Menurut Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, dalam perspektif siyasah syar’iyyah ilmu politik Islam, kebijakan semacam abolisi memiliki dasar strategis.
Dalam fiqih politik, seorang pemimpin memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang menjaga kemaslahatan umat (mashalih al-‘ammah).
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menjelaskan bahwa: abolisi dalam perspektif siyasah sangat mengedepankan kepentingan umat suatu negara, sehingga pertahanan dan keamanan negara bisa terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan kata lain, ketika proses hukum justru berpotensi menciptakan konflik horizontal, maka pemimpin memiliki hak untuk mengambil langkah strategis yang berpihak pada keutuhan bangsa.
Meski legal, kebijakan ini tetap membuka ruang kritik. Sejumlah kalangan menilai, langkah Presiden Prabowo terkesan bermuatan politis atau balas jasa.
Mereka khawatir keputusan semacam ini akan menjadi preseden buruk, yang menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan.
“Meskipun sah menurut hukum, keputusan Prabowo tetap membuka ruang kritik. Sebagian pihak menilai pemberian abolisi dan amnesti bernuansa balas jasa atau politisasi hukum. Ada juga yang menilai bahwa ini bisa menciptakan preseden buruk: bahwa hukum bisa dikompromikan atas dasar kekuasaan,” bebernya.
Namun, dalam politik hukum modern, keadilan tidak hanya dinilai dari aspek prosedural, tetapi juga dari sisi substansi dan dampak sosial.
Dalam pandangan filsuf hukum Prof. Zainuddin Ali, negara hukum yang baik adalah negara yang menjaga rule of law sekaligus menjamin fairness dan keadilan sosial.
Jika keputusan presiden dilakukan untuk mencegah keretakan bangsa dan menjamin harmoni politik, maka secara moral dan politik dapat diterima, meski tetap harus dikritisi secara etis.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan publik, pemberian abolisi dan amnesti harus disertai transparansi, argumentasi kuat, dan akuntabilitas publik.
DPR harus menjalankan peran pengawasan secara sungguh-sungguh, bukan sekadar menjadi stempel formal kebijakan eksekutif.
Dalam kacamata Islam, prinsip syura (musyawarah) dan maslahah (kemaslahatan) harus menjadi pedoman utama.
Keadilan tidak boleh hanya dinikmati oleh elite politik, tetapi harus dirasakan oleh seluruh rakyat yang menuntut integritas dan kesetaraan di depan hukum.
Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi bagi Tom Lembong merupakan kebijakan yang sah secara konstitusional dan dapat dibenarkan dalam kerangka hukum Islam.
Namun, kebijakan semacam ini tetap memerlukan pengawasan kritis agar tidak tergelincir menjadi alat politisasi hukum.
Sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Ayat ini mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar prosedur administratif, melainkan jalan menuju keadilan, kedamaian, dan kesatuan umat.
Dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, kekuasaan harus selalu diawasi agar tidak berubah menjadi tirani yang merugikan rakyat.