SERAYUNEWS- Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong menuai kritik dari berbagai kalangan.
Kedua tokoh tersebut tersandung kasus hukum besar. Hasto didakwa terlibat dalam suap kepada pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU), sedangkan Tom Lembong diduga terlibat dalam kasus kebijakan impor gula.
Pemberian pengampunan tersebut memunculkan pertanyaan serius: Apakah ini bentuk penyalahgunaan wewenang Presiden atau sekadar menjalankan hak prerogatif konstitusional?
Menurut Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto,
M. Wildan Humaidi, Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan “paket pengampunan hukum” kepada dua tokoh berbeda latar belakang.
Hasto Kristiyanto adalah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, partai yang berada di luar koalisi pemerintahan. Sementara itu, Tom Lembong merupakan mantan Menteri Perdagangan sekaligus pendukung capres rival saat Pemilu 2024.
Langkah ini memunculkan spekulasi bahwa proses hukum terhadap keduanya tidak sepenuhnya murni berdasarkan prinsip keadilan, melainkan turut dibayangi kepentingan politik.
Setelah proses hukum yang panjang dan vonis dijatuhkan, Presiden Prabowo justru hadir sebagai “penyelamat” dengan memberikan amnesti dan abolisi.
“Pemberian pengampunan kepada dua tokoh ini perlu dikaji secara mendalam, tidak hanya dari aspek hukum positif, tapi juga dari sudut pandang moral dan konstitusionalitas,” ujarnya.
Dia menyebutkan, Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memiliki wewenang memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Artinya, Presiden memang memiliki hak prerogatif dalam hal ini. Namun, Wildan menekankan bahwa pelaksanaan hak prerogatif tersebut tidak boleh hanya dilihat sebagai formalitas hukum semata.
“Pemberian amnesti dan abolisi sah menurut konstitusi, tetapi tetap harus diuji dari aspek moral konstitusional dan urgensi publik. Presiden memang punya wewenang, tapi apakah langkah ini adil dan tidak mengabaikan semangat pemberantasan korupsi?” ujar Wildan.
Kritik tajam muncul karena DPR saat ini didominasi oleh koalisi pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, sehingga surat permohonan dari Presiden berpotensi disetujui tanpa perdebatan kritis.
Wildan menilai bahwa situasi ini mencerminkan keroposnya sistem check and balance di tubuh pemerintahan. Fungsi kontrol dari DPR terhadap kekuasaan Presiden menjadi lemah ketika kekuatan politik berada dalam satu kubu besar.
Dalam konferensi pers terbaru, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bersama Menteri Hukum Supratman Andi Atgas menyatakan bahwa permohonan amnesti dan abolisi dari Presiden telah melalui mekanisme konstitusional dan mendapat persetujuan DPR.
Namun, pertanyaan utamanya adalah: apakah prosedural selalu berarti benar secara substansi?
“Konstitusi boleh memberi kewenangan, tapi jika digunakan untuk mengintervensi proses hukum yang sudah berjalan, itu akan melukai prinsip negara hukum,” tegas Wildan.
Jika ditelaah lebih jauh, pemberian pengampunan ini bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang arah politik hukum pemerintahan Prabowo. Wildan menyoroti kecenderungan kekuasaan untuk mencampuri proses hukum yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
Penegakan hukum seharusnya bebas dari campur tangan politik. Namun dalam kasus ini, hukum justru tampil sebagai subordinat dari kekuasaan politik. Hal ini dapat membahayakan fondasi hukum nasional, terutama dalam menghadapi kasus korupsi yang masih menjadi masalah akut di Indonesia.
“Hukum harus berdiri sendiri, bukan jadi alat politik. Kalau seperti ini terus, kita bukan lagi negara hukum, tapi negara kekuasaan,” katanya.
Pemberian amnesti dan abolisi kepada tokoh-tokoh yang tersangkut kasus korupsi menciptakan preseden buruk. Alih-alih menjadi penegak keadilan, Presiden justru terlihat seperti pemberi grasi politik bagi pihak-pihak yang pernah menjadi lawan atau ancaman.
Menurut Wildan, pendekatan semacam ini mencoreng kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan memperkuat pandangan bahwa kekuasaan bisa membeli keadilan.
“Jika keadilan ingin ditegakkan, tempuhlah jalur hukum seperti banding atau kasasi, bukan malah melempangkan semuanya lewat kekuasaan eksekutif,” ujarnya.
Keputusan Presiden Prabowo untuk memberikan amnesti dan abolisi memang sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Namun, langkah tersebut tetap menuai kritik karena dianggap mengabaikan semangat keadilan dan pemberantasan korupsi.
Dalam konteks negara hukum, kewenangan Presiden harus dijalankan secara bijaksana, tidak sekadar legal, tapi juga etis, adil, dan tidak menyimpang dari nilai-nilai konstitusi.
Wildan menutup pernyataannya dengan tegas, Indonesia bukan negara kekuasaan, melainkan negara hukum.
Jika hukum terus dipinggirkan oleh kepentingan politik, maka yang tergerus bukan hanya kepercayaan publik, tapi juga masa depan demokrasi kita.