CILACAP, SERAYUNEWS.COM – Idul Fitri identik dengan mengirim ucapan selamat dan saling memaafkan di antara muslim. Tidak sedikit yang bosan dengan teks kalimat yang itu-itu saja. Namun saya merasa ada yang beda saat ucapan 1 Syawal datang dari pengungsi Rohingya. Dia adalah Janghir, pemuda 17 tahun, pengungsi Rohingya asal Maungdaw Myanmar, yang tinggal di kamp pengungsi Jamtoli, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Janghir berkirim ucapan selamat Idul Fitri kepada saya lewat pesan whatsapp pada Jumat 15 Juni 2018. “Happy Eid Mubarak brother,” begitu ia menulis pesannya. Saya membalas dengan doa keselamatan dan kebahagian. “Semoga kita bisa bertemu dengan Ramadhan di tahun mendatang,” tulis saya.
Saat mengirim ucapan tersebut Janghir dan seluruh muslim di Bangladesh belum merayakan Idul Fitri. Pemangku agama Islam di Bangladesh memutuskan Idul Fitri jatuh pada Sabtu 16 Juni 2018, sehari setelah Idul Fitri di Indonesia. Janghir tahu Idul Fitri di Indonesia lebih dulu karena ia rajin mengikuti perkembangan kabar muslim di Indonesia. Kedekatan Janghir dengan muslim Indonesia karena banyak bekerja sama dengan relawan kemanusiaan Indonesia untuk menyalurkan bantuan pangan dan non-pangan, serta medis di kamp pengungsi Jamtoli. Salah satunya adalah ACT (Aksi Cepat Tanggap). Janghir adalah salah satu penerima manfaat yang ingat betul bantuan medis dari ACT.
Sapaan Janghir tadi membawa ingatan saya tentang ACT saat berkunjung ke Bangladesh pertengahan April lalu. Kedatangan saya untuk mereportase keadaan pengungsi Rohingya yang terusir dari tanah kelahirannya, negara bagian Rakhine Myanmar, sejak Agustus tahun lalu. Satu juta pengungsi Rohingya harus menyeberang muara menuju Bangladesh. Mereka hidup sebatang kara tanpa fasilitas yang layak dan pangan yang jauh dari berkecukupan. Informasi inilah yang saya himpun untuk tujuan menyusun naskah buku tentang Rohingya.
Perjalanan pertama saya menuju kamp pengungsi Rohingya dimulai dari Hotel Coastal Peace di Cox’s Bazar pada Senin 16 April 2018 pukul sembilan pagi waktu setempat. Saat melintasi jalan Inani-Court Bazar sekitar satu jam dari kamp pengungsi Rohingya di Jamtoli, saya terkesan dengan bangunan di pinggir jalan yang diapit oleh hamparan sawah berukuran sekitar 150 meter persegi. Dindingnya bertuliskan ACT (Aksi Cepat Tanggap) dengan logonya yang tak asing berwarna hijau dan orange.
Saya bertanya kepada salah satu relawan asal Indonesia, Amin Sudarsono dari Indonesia Humanitarian Alliance, tentang keberadaan ACT di Bangladesh. Amin mengatakan bahwa ACT satu-satunya lembaga kemanusiaan asal Indonesia yang berani membangun gudang bantuan pangan untuk pengungsi Rohingya. “Itu salah satu bangunan yang disewanya untuk distribusi bantuan pangan,” katanya.
Menjelang kamp pengungsi Jamtoli saya menemukan lagi rumah berdinding bertuliskan logo ACT. Menurut informasi yang saya himpun rumah ACT yang kedua itu juga tersebut juga berfungsi sebagai gudang pangan.
Di kamp pengungsi Jamtoli, ACT termasuk lembaga kemanusiaan yang berfokus pada bantuan medis. Adapun untuk bantuan pangan ACT mendistribusikan di kamp pengungsi Kutupalong yang merupakan kamp pengungsi terbesar dengan populasi lebih dari 500 ribu pengungsi.
Dalam menangani krisis kemanusiaan ACT membentuk Tim Sympathy of Solidarity (SOS) Rohingya. Ada tiga fokus bantuan yaitu pangan, hunian sementara atau shelter, dan medis. Di bidang pangan, masih ingat betul bagaimana ACT menyalurkan bantuan beras 80.000 karung atau setara 2.000 ton untuk pengungsi Rohingya pada masa tanggap darurat. Beras dikirim dari Indonesia dan berlabuh di Pelabuhan Chittagong Bangladesh, lalu diangkut menuju Cox’s Bazar. ACT menggandeng Pemerintah Cox’s Bazar untuk menyalurkan bantuan beras.
Di bidang non-pangan, ACT berkomitmen membangun shelter namanya Integreated Community Shelter (ICS). Ini adalah program membangun hunian sementara bagi pengungsi Rohingya. Beberapa ICS berhasil didirikan di Aceh, dan Sittwe Myanmar. Rencananya ACT akan membangun 1.000 hunian sementara di Bangladesh pada 2018.
Di bidang medis, tim ACT bahkan menjangkau kamp pengungsi Rohingya di Teknaf. Teknaf adalah kamp pengungsi paling tenggara, jauh dari Distrik Cox’s Bazar, dan berdekatan dengan perbatasan Myanmar. Saat gelombang besar pengungsi membanjiri perbatasan Bangladesh – Myanmar, ACT menggelar layanan bantuan medis dengan menerjunkan sejumlah dokter dan perawat di Kamp Shamlapur, Teknaf, pada September tahun lalu.
Pada Ramadhan yang lalu para pengungsi menghadapi kondisi yang lebih berat. Kondisi kamp pengungsi memburuk karena daerah tenggara Bangladesh tengah menghadapi monsoon season atau musim hujan yang lebat. Janghir tak hentinya mengirim gambar awan mendung yang menggelayut di atas kamp pengungsi.
Koresponden ITV News Debi Edward mereportase beberapa shelter pengungsi rusak akibat terpaan hujan. Derasnya air hujan membuat genangan dan beberapa titik banjir menyapu beragam sampah termasuk mengaduk kotoran manusia. Ini mengancam tersebarnya wabah penyakit. Kondisi ini bisa lebih buruk lagi karena puncak dari mansoon season akan berlangsung pada Juli mendatang.
Di tengah musim hujan dan kewajiban menjalankan ibadah Ramadhan, ACT membersamai muslim Rohingya dengan program bantuan kemanusiaan. Bantuan tersebut adalah 100 paket bantuan makanan pokok, bantuan pendidikan untuk beberapa madrasah, dan menggelar buka bersama. Program ini bergulir di kamp pengungsi Kutupalong.
Janghir yang merupakan pengungsi di Jamtoli berharap ACT bisa mengembangkan programnya hingga Jamtoli. Terutama bantuan pangan. Janghir ingat betul jejak ACT di kamp Jamtoli berupa bantuan medis pada tahun lalu. “Saya berharap ACT bisa menyalurkan bantuan pangan di tempat kami,” katanya.
Saya tahu betul kekecewaan para pengungsi ketika bantuan pangan tak lagi deras mengalir apalagi terhenti. Para pengungsi itu sangat bergantung dengan bantuan pangan lembaga kemanusian. Pasalnya para pengungsi tak punya pendapatan untuk membeli makanan pokok.
Di kamp pengungsian, militer Bangladesh membatasi pergerakan para pengungsi. Mereka tak boleh memasuki wilayah Cox’s Bazar Bangladesh, penjagaan militer cukup ketat. Pengungsi juga tak boleh bekerja baik berdagang di pasar maupun bercocok tanam. “Kami bisa makan dari mana kalau tidak mengharap bantuan,” kata Muhammad Harun, 50 tahun, pria Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi Jamtoli.
Adapun jumlah bantuan pangan masih jauh dari mencukupi permintaan bantuan satu juta pengungsi. Luasnya area dan populasi yang membesar membuat bantuan dan distribusi terasa kurang. Kebutuhan pangan yang besar ini membuat ACT berinisiatif meluncurkan program Kapal Kemanusian yaitu program bantuan 10.000 ton beras. Bantuan beras ini dikumpulkan sekepal demi sekepal hingga menjadi sekapal. Setelah terkumpul beras ini akan dikirim ke Bangladesh tempat pengungsi Rohingya. Ramadhan yang lalu menjadi momentum ACT untuk terus menggalang paket-paket bantuan kemanusiaan dari rakyat Indonesia untuk pengungsi Rohingya.