SERAYUNEWS – Di tengah derasnya arus digital yang membuat segalanya serba cepat dan instan, kekhawatiran terhadap nasib sastra semakin terasa.
Menjawab tantangan ini, Sanggar Seni Samudra di Purwokerto akan menggelar acara pembacaan puisi untuk mengenang WS Rendra, salah satu maestro sastra Indonesia.
Acara ini akan berlangsung pada 6 Agustus 2025, tepat pada hari wafat WS Rendra, yang meninggal dunia pada 6 Agustus 2009.
Rendra, yang dijuluki “Burung Merak”, dikenal sebagai sosok sastrawan yang puitis, tajam, dan membela nilai-nilai kemanusiaan.
Penyelenggara acara menyoroti fenomena kekeringan “rasa” akibat budaya instan di era digital. Generasi Z dan Alpha kini lebih familiar dengan konten pendek TikTok, video singkat, dan reels, dibandingkan karya sastra yang mengajak merenung dan meresapi makna.
“Kami menyebutnya sebagai kiamat sastra. Budaya membaca dan menikmati puisi mulai ditinggalkan,” kata Faisal Jais (Jayeng), Ketua Harian Sanggar Seni Samudra.
Ia mengingatkan bahwa teknologi dan sastra seharusnya berjalan beriringan, bukan saling menyingkirkan.
Yudiono Aprianto, seorang guru dan pengamat sastra, juga menyampaikan keresahannya. Menurutnya, pembangunan manusia tidak cukup hanya dengan infrastruktur dan teknologi.
“Di lagu Indonesia Raya saja tertulis ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’. Tapi kalau jiwa tidak diberi nutrisi lewat sastra dan seni, kita hanya menciptakan manusia yang kosong,” ujarnya.
Ia menilai acara ini sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap pola hidup serba cepat dan minim perenungan.
Acara pembacaan puisi ini diharapkan bisa menjadi momentum untuk menyalakan kembali minat generasi muda terhadap dunia sastra. Tak hanya mengenang Rendra, acara ini juga akan menampilkan puisi-puisi karya anak muda lokal.
“Kami ingin menumbuhkan lagi kesadaran bahwa sastra itu penting. Ia menjaga rasa, empati, dan nurani manusia,” ujar Jayeng.
Acara ini bukan sekadar mengenang Rendra, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap kepunahan kepekaan di era digital.
Sanggar Seni Samudra mengajak semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda, untuk kembali menjadikan sastra sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sastra bukan hanya masa lalu. Ia adalah nafas panjang kemanusiaan, yang akan terus hidup jika masih ada yang membacakan puisi dan meresapi makna di balik kata.