SERAYUNEWS- Suasana Aula Gedung J Kampus III UIN Imam Bonjol Padang, Rabu, 1 Oktober 2025, sore berubah menjadi ruang penuh haru.
Ratusan penonton duduk rapat, seakan tak ingin kehilangan satu detik pun dari penampilan yang begitu menggetarkan hati.
Di tengah sorot lampu yang sederhana, Hana Safira, Mahasiswa dari Prodi Perbankan Syariah Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto berdiri tegak dengan pakaian sederhana.
Namun begitu ia membuka suara, ruang itu mendadak dipenuhi dentuman emosi yang tak terlihat, namun terasa menusuk hingga ke dalam dada.
Monolog berjudul Inai Merah Kandang Reyot Nurjawilah yang ia bawakan bukan sekadar pertunjukan teater.
Ia adalah cerita luka, cinta yang dikhianati, dan perjuangan seorang perempuan bernama Nurjawilah yang memilih bertahan di tengah runtuhnya kehidupan.
Naskah yang diadaptasi dari cerpen “Kandang Kambing Nurjawilah” karya Damhuri Muhammad ini terasa begitu hidup di bibir Hana.
Hana tampil sederhana, berdiri di panggung dengan gestur lirih namun sarat kekuatan.
Tangannya menyentuh tiang bambu imajiner, seolah benar-benar merasakan rapuhnya kayu lapuk yang menopang hidup Nurjawilah.
Setiap kalimatnya keluar dengan getir, kadang lirih, kadang meledak penuh amarah persis seperti seorang perempuan yang berkali-kali dihantam hidup, namun memilih tidak menyerah.
“Aku Nurjawilah… aku bukan musuh siapa pun. Aku ibu yang rapuh tapi hati ini menyala!”
Kalimat itu, yang dilontarkan Hana dengan suara bergetar, membuat beberapa penonton di barisan depan menunduk, menyeka air mata.
Di balik monolog itu, penonton bukan hanya melihat kisah seorang tokoh fiksi. Mereka melihat potret nyata tentang perempuan-perempuan di sekitar kita yang sering kali dipinggirkan, ditertawakan, namun diam-diam menyimpan tenaga luar biasa untuk bertahan demi anak-anak dan hidup yang tersisa.
Hana tidak sendiri. Ia tampil bersama rekan-rekannya dari UKM Teater Didik UIN Saizu Purwokerto yang ikut menopang suasana dengan pengaturan cahaya, tata panggung, hingga pengiring suasana.
Ada Ahmad Habibi Alfaqih dari Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) sebagai makeup dan kostum, lighting dan setting. Ada Syafa Tasya Kamilah dari Prodi Hukum Tata Negara (HTN) sebagai Sutradara, Pimpinan Produksi dan Musik.
Kolaborasi mereka sederhana, namun justru dari kesederhanaan itulah lahir keindahan: penonton merasakan bahwa panggung bukan sekadar pertunjukan, melainkan jendela ke dunia batin Nurjawilah.
Ratusan pasang mata yang memenuhi aula malam itu seakan larut dalam satu perasaan: kagum sekaligus iba. Mereka bukan hanya menyaksikan drama, melainkan merasakan luka Nurjawilah yang diperankan Hana seolah nyata.
Inai Merah Kandang Reyot Nurjawilah bukan sekadar cerita tentang kandang reyot atau kambing yang menggembik.
Ia adalah metafora kehidupan tentang tubuh manusia yang rapuh, keluarga yang runtuh, dan harapan yang tetap berdiri meski diterpa badai fitnah.
Hana, dengan seluruh ketulusannya, mengubah teks yang panjang dan berat menjadi sesuatu yang hidup, bernapas, dan menyentuh hati.
Suaranya yang kadang pecah, tatapannya yang menantang, hingga lirih tangannya yang gemetar, semua itu membuat Nurjawilah hadir malam itu, bukan hanya sebagai tokoh, melainkan sebagai wajah perjuangan perempuan.
Di akhir penampilannya, ruangan hening. Tak ada tepuk tangan yang buru-buru pecah. Penonton menahan diri, larut dalam suasana getir yang baru saja ditinggalkan Hana di panggung.
Lalu perlahan, tepuk tangan bergemuruh, panjang dan tak terbendung. Hana Safira berhasil membuktikan bahwa seni teater bukan sekadar hiburan.
Ia bisa menjadi medium refleksi, medium bagi kita untuk menatap diri sendiri, memahami luka orang lain, dan menyadari bahwa di balik setiap tubuh yang “reyot”, ada jiwa yang masih menyala.