Jalan penghubung Kramat-Sirau Kecamatan Karangmoncol, merupakan jalur yang membelah kawasan Perbukitan Siregol. Kawasan tersebut, termasuk kawasan hutan konservasi di Purbalingga. Hutan yang rimbun menjadi tempat banyak flora dan fauna tinggal. Namun kondisinya kini berbeda, alih fungsi lahan terjadi sejak beberapa tahun lalu.
Purbalingga, serayunews.com
Alih fungsi lahan itu yang disinyalir menjadi faktor penyebab terjadinya bencana longsor di kawasan tersebut. Saat ini l, kawasan hutan itu banyak yang berubah menjadi kebun kapulaga. Tentunya tak banyak lagi tanaman penyangga tanah dan resapan air.
“Karena sudah tidak ada pengikat (tanah, red), saya sudah masuk ke hutannya, semuanya parah, ganti kapulaga,” kata Hendri Sutrisno, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Autentic Desa Sirau, Rabu (06/03/2022).
Pernyataan Hendri diperkuat oleh aktivis pecinta alam Purbalingga. Teguh Pratomo dari Perhimpunan Pegiat Alam (PPA) Gasda menyatakan, belum lama ini dia dan rombongan melakukan observasi dan survey lokasi. Di kawasan hutan Siregol memang sudah berubah fungsi. Hutan yang seharusnya ditumbuhi pepohonan sudah berubah menjadi kebun kapulaga.
“Kami melakukan survei pada 4-6 Maret 2022 lalu dan faktanya memang demikian, daerah yang seharusnya hutan lindung sudah menjadi Taman Kapulaga. Selain itu memang terjadi juga penebangan liar,” ujarnya.
Survei dilakukan melewati kawasan hutan, mulai dari Desa Kramat sampai ke Sirau. Kondisinya memang sudah memprihatinkan. “Jika dari tepi jalan masih tampak seperti hutan, tak sampai 1 kilometer kami berjalan sudah penuh tanaman kapulaga,” ujarnya.
Penyuluh Kehutanan Wilayah Karangmoncol, Hijrah Utama menambahkan, budidaya kapulaga tanpa memperhatikan kondisi tutupan lahan memang tidak baik dari sisi konservasi. “Sebenarnya kapulaga adalah tanaman tumpangsari namun karena kondisi tanaman pokok kayu-kayuannya hilang menyebabkan tanah kehilangan daya cengkram sehingga longsor kerap kali terjadi. Jadi permasalahan pokok sebenarnya lebih diakibatkan hilangnya tanaman pokok kayu-kayuan,” katanya.
Apalagi kondisi lahan di area sekitar jalur siregol memang memiliki kemiringan curam yang seharusnya memang untuk konservasi bukan budidaya. Kemudian, tanaman pokok, kondisinya banyak yang ditebang.
“Jika tutupan lahannya berkurang / hilang dengan curah hujan yang tinggi tentunya akan meningkatkan risiko longsor, itulah yang terjadi di Siregol,” ujar alumnus Magister Ilmu Lingkungan Unsoed itu.
Ketua PPA Mayapada, Rully Suyitno menyatakan, longsor Siregol menjadi keprihatinan tersendiri bagi komunitas pecinta alam Purbalingga. Pihaknya sudah kerap melakukan penanaman pohon dan sosialisasi tentang konservasi. Hal itu harus diikuti kesadaran masyarakat dan dukungan semua stakholder.
“Waktu longsor pertama kami langsung beraksi dengan menanam 3.300 pohon oleh gabungan pecinta alam Purbalingga. Namun, hal itu akan terus terjadi, jika perusakan hutan masih terus dilakukan,” ujarnya.
Sebagai informasi, kawasan hutan di area Siregol dan sekitarnya merupakan benteng hutan alam terakhir di Purbalingga. Ketua Ekspedisi Sisik Naga, Gunanto Eko Saputro menyebutkan l, kawasan hutan itu masih memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Hasil ekspedisi kami di tahun 2020 bersama Kelompok Studi Biologi Unika Atmajaya mengidentifikasi setidaknya ada 46 jenis burung, berjenis primata,mamalia serta keanekaragaman hayati lainnya, termasuk yang dilindungi seperti Owa Jawa (Hylobates Moloch) dan Elang Jawa (Nizaetus bartelsii),” ujarnya.