Zaman berubah tak kenal belas kasihan. Perubahan zaman sepertinya hanya punya dua pilihan, ikut atau tergilas. Zaman yang berubah berimbas pada beberapa lini kehidupan, salah satunya di dunia transportasi konvensional.
Pada awal Reformasi, kisaran tahun 1998 sampai awal dekade 2000-an, angkutan kota (angkot) di Purwokerto yang berwarna oranye itu jadi primadona. Di masa-masa itu, orang berebut untuk naik angkot. Bisa dikatakan, jumlah orang yang menggunakan jasa angkot sangat banyak, apalagi di daerah seputaran kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Jumlah penumpang yang banyak itu jadi rezeki bagi angkot. Saking banyaknya calon penumpang dan kesempatan mendapatkan rupiah, kadang di masa itu bertemu dengan kernet yang berbohong. “Omber…omber…” kata seorang kernet. Pernyataan itu menjelaskan bahwa masih ada kursi yang kosong di dalam angkot. Padahal, sudah penuh sesak.
Bisa dibayangkan sendiri, bagaimana sumpeknya di dalam angkot. Apalagi, saat itu ada angkot yang memilih menyediakan jengkok. Jengkok itu tempat duduk terbuat dari papan atau kayu yang ditempatkan di dalam angkot. Ya tujuannya agar lebih banyak lagi penumpang yang didapatkan. Karena selain penumpang yang duduk di kursi yang paten itu, ada juga yang duduk di jengkok.
Seingat saya, masalah jengkok kala itu juga jadi pembahasan serius di DPRD Banyumas. Itu seingat saya. Singkat cerita, di masa itu angkot sangat jaya. Tak ada saingan. Kala itu sepeda motor belum mewabah seperti saat ini. Saat itu pula,telepon genggam belum semassif saat ini. Juga, kala itu belum ada transportasi online.
Tapi zaman sudah berubah menginjak akhir dekade 2000-an. Kala itu, sepeda motor mudah didapatkan dengan kredit yang ringan. Telepon genggam sudah dimiliki hampir semua orang dewasa. Seorang mantan sopir pernah menjelaskan ke saya, bahwa setelah telepon genggam massif dan sepeda motor makin banyak, angkot tersisih.
“Ya misalnya begini saja. Orang turun dari terminal. Dia sudah mengabari keluarganya melalui telepon genggam untuk dijemput. Si keluarga yang punya sepeda motor tentu dengan mudah menjemput. Nah, jatah angkutan umum pun berkurang. Lagipula untuk jarak yang tak terlalu jauh, orang bisa dengan mudah bepergian pakai sepeda motor,” ceritanya.
Dua hal itu membuat wajah angkot di Purwokerto berubah. Kemudian, zaman kembali memunculkan yang namanya angkutan berbasis aplikasi. Makin keraslah persaingan di lapangan. Makin sedikit pula orang naik angkot.Sering saya melihat, penumpang angkot di Purwokerto hanya segelintir orang.
“Bapak keliling kadang hanya cukup untuk ngisi bensin. Itu pun kalau beruntung,” kata seorang anak yang bapaknya adalah sopir angkot kepada saya.
Kini, tak ada lagi kernet yang berkoar soal jurusan angkot. Sebab, tidak ada lagi angkot yang memiliki kernet. Tentu saja, hilangnya profesi kernet karena tak mungkin lagi angkot menggunakan jasa kernet karena hanya akan menambah pengeluaran.
Beberapa hari lalu, Serayunews.com pun telah memberitakan bahwa angkot di Purwokerto kini tak memasang trayek. Trayek itu biasanya tertulis di papan dan dipasang di atas angkot. Tapi, kini tak ada lagi. Ya karena angkot ingin lebih leluasa mendapatkan penumpang yang makin sedikit.
Zaman telah berubah dan orang yang bergelut di jalanan itu mengalami situasi yang sangat sulit. Angkot hanyalah salah satu potret mereka yang ditebas zaman. Banyak profesi lain yang ditelan bumi karena teknologi yang makin menggila di masa kini.
Pada situasi seperti ini, pemerintah daerah di manapun saya pikir juga kerepotan. Kerepotan menemukan solusi yang tepat bagi mereka yang terlindas zaman. Orang yang belasan atau puluhan tahun bergelut dengan dunia angkot, kemungkinan besar akan kesulitan ketika harus putar haluan bekerja di tempat lain. Di sisi lain, sulit juga mengakomodir banyaknya sopir angkot untuk menjadi sopir angkutan umum milik pemerintah seperti trans-trans itu.
Di sinilah kemudian, sinergi pemerintah, dan pihak yang sering bersinggungan dengan dunia transportasi diperlukan. Sinergi yang diharapkan bisa memunculkan solusi yang tepat bagi angkot yang makin ditinggalkan penumpang. Jika solusi itu butuh waktu lama, maka makin lamalah gundah yang akan mendera mereka yang berhadapan dengan raksasa bernama perubahan zaman. (Kholil)