
SERAYUNEWS – Istilah gapjil semakin sering terdengar, terutama ketika membahas budaya kerja dan relasi sosial di Korea Selatan.
Kata ini kerap muncul dalam pemberitaan, drama Korea, hingga diskusi di media sosial.
Tidak sedikit orang yang kemudian bertanya-tanya, apa itu gapjil, dan apakah benar budaya kerja di Korea Selatan tergolong menyeramkan seperti yang sering digambarkan?
Secara umum, gapjil merujuk pada perilaku penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa memiliki posisi lebih tinggi terhadap mereka yang dianggap lebih rendah.
Praktik ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari perlakuan tidak adil, sikap merendahkan, hingga tindakan yang bersifat abusif.
Fenomena gapjil bukan sekadar istilah populer, melainkan cerminan persoalan sosial yang nyata dan berdampak serius, terutama bagi kesehatan mental para pekerja.
Apa itu gapjil? Secara harfiah, istilah ini berasal dari konsep dalam hukum kontrak Korea.
Kata “gap” merujuk pada pihak yang memiliki posisi lebih kuat atau dominan dalam suatu perjanjian, sedangkan “eul” adalah pihak yang berada di posisi lebih lemah.
Sementara itu, akhiran “jil” mengarah pada tindakan atau perilaku, dengan konotasi yang negatif.
Dengan demikian, gapjil dapat diartikan sebagai perilaku sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak yang merasa memiliki kekuasaan lebih tinggi terhadap pihak yang lebih lemah.
Dalam praktiknya, gapjil sering kali melibatkan tekanan psikologis, pelecehan verbal, hingga tindakan yang melampaui batas kemanusiaan.
Awalnya, istilah ini banyak digunakan dalam konteks hubungan kerja.
Namun seiring waktu, maknanya meluas dan mencerminkan problem relasi kuasa dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Dikutip dari www.koreaherald.com, pada awalnya, istilah gapjil banyak digunakan untuk menggambarkan penyalahgunaan kekuasaan di tempat kerja.
Contoh yang sering terjadi antara lain atasan yang memberi tugas di luar tanggung jawab karyawan, memaksa lembur tanpa alasan yang jelas, hingga melakukan kekerasan secara verbal seperti bentakan, makian, atau penghinaan di depan umum.
Budaya kerja Korea Selatan memang dikenal sangat hierarkis.
Senioritas berdasarkan usia, jabatan, dan masa kerja masih memiliki pengaruh kuat.
Dalam kondisi tertentu, hierarki ini dapat berubah menjadi pembenaran untuk memperlakukan bawahan secara tidak adil.
Salah satu peristiwa yang membuat istilah gapjil dikenal luas secara internasional adalah insiden “nut rage” pada tahun 2014.
Dalam kejadian tersebut, seorang eksekutif maskapai Korean Air memarahi dan menyerang pramugari karena cara penyajian kacang yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Kasus ini memicu kemarahan publik dan menjadi simbol nyata bagaimana gapjil bisa terjadi bahkan di perusahaan besar dan prestisius.
Sejak saat itu, istilah gapjil tidak lagi terbatas pada ruang kantor, tetapi juga digunakan untuk menggambarkan perilaku arogan dan abusif dalam kehidupan sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, makna gapjil semakin meluas ke berbagai aspek kehidupan sosial.
Faktor seperti usia, status sosial, kekayaan, jabatan, hingga latar belakang pendidikan sering dijadikan alasan subjektif untuk merasa lebih “unggul” dibanding orang lain.
Dalam relasi sosial, gapjil bisa muncul dalam bentuk pemilik properti terhadap penyewa, pelanggan terhadap pekerja layanan, atau bahkan orang tua terhadap anak.
Pola relasi yang timpang ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan sering disalahgunakan dalam interaksi sehari-hari.
Fenomena gapjil bukanlah hal sepele. Sejumlah pekerja di Korea Selatan mengaku pernah mengalami kekerasan verbal maupun fisik di tempat kerja.
Tekanan berkepanjangan akibat perlakuan tidak manusiawi ini berdampak langsung pada kesehatan mental.
Kasus tragis seperti bunuh diri seorang petugas keamanan apartemen dan seorang guru sekolah dasar akibat tekanan serta perlakuan tidak adil, semakin membuka mata publik tentang bahaya gapjil.
Peristiwa-peristiwa tersebut memicu diskusi nasional mengenai perlunya perubahan budaya kerja dan sistem perlindungan pekerja.
Meskipun memiliki sisi gelap, Korea Selatan bukanlah negara yang diam terhadap persoalan ini. Kesadaran publik terhadap isu gapjil terus meningkat, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah mulai memperkuat regulasi perlindungan pekerja, termasuk aturan terkait pelecehan di tempat kerja.
Selain itu, generasi muda Korea cenderung lebih berani menolak budaya kerja yang otoriter dan tidak sehat.
Media, akademisi, serta aktivis sosial juga aktif mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih setara dan manusiawi.
Kampanye anti-gapjil semakin sering digaungkan, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.
Kesimpulannya, apa itu gapjil? Gapjil adalah istilah yang mencerminkan sisi gelap dari budaya hierarkis di Korea Selatan, di mana kekuasaan sering disalahgunakan untuk menekan pihak yang lebih lemah.
Namun di sisi lain, meningkatnya kesadaran publik menunjukkan bahwa masyarakat Korea sedang bergerak menuju perubahan.
Upaya menciptakan relasi kerja yang lebih sehat, setara, dan manusiawi terus dilakukan, meskipun jalan yang ditempuh tidak mudah.
Gapjil bukan hanya isu Korea Selatan, melainkan juga menjadi cermin bagi masyarakat global tentang pentingnya menghormati sesama, apa pun posisi dan status sosialnya.***