SERAYUNEWS- Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengajukan permintaan insentif kepada Kementerian Keuangan.
Namun, Purbaya menegaskan bahwa permintaan tersebut belum bisa dikabulkan selama pasar modal Indonesia masih dipenuhi praktik perdagangan saham gorengan.
Pernyataan ini menjadi sinyal keras bagi pelaku pasar agar lebih waspada terhadap praktik manipulatif yang merugikan investor ritel. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan saham gorengan?
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya mengenai apa itu saham gorengan?
Saham gorengan adalah istilah populer di pasar modal untuk menggambarkan saham yang harganya melonjak secara tidak wajar akibat manipulasi pasar.
Lonjakan harga tersebut biasanya tidak mencerminkan kondisi fundamental perusahaan yang sesungguhnya.
Ibarat makanan gorengan, saham jenis ini terlihat menggoda karena bisa memberikan keuntungan cepat, tapi berisiko tinggi dan bisa “membakar” portofolio investor yang lengah.
1. Kenaikan Harga Ekstrem dalam Waktu Singkat
Saham gorengan biasanya naik puluhan persen hanya dalam hitungan hari, bahkan tanpa ada kabar baik atau laporan keuangan positif dari emiten.
Ketika “bandar” mulai melepas sahamnya, harga bisa jatuh tajam dan membuat investor ritel menanggung kerugian besar.
2. Tidak Didukung Kinerja Fundamental
Sebagian besar saham gorengan berasal dari emiten dengan kondisi keuangan lemah utang tinggi, pendapatan tidak stabil, atau minim prospek pertumbuhan. Artinya, kenaikan harga hanya bersifat semu.
3. Masuk Daftar UMA (Unusual Market Activity)
BEI akan memberi “peringatan” bagi saham yang bergerak terlalu ekstrem dengan memasukkannya ke dalam daftar UMA. Biasanya, saham-saham ini naik hingga batas auto reject atas (ARA):
⦁ 20% per hari untuk harga di atas Rp5.000,
⦁ 25% per hari untuk harga Rp200–Rp5.000,
⦁ 35% per hari untuk harga Rp50–Rp200.
Jika saham masuk radar UMA, artinya ada aktivitas yang tidak wajar dan investor perlu berhati-hati.
4. Volume dan Nilai Transaksi Tak Seimbang
Saham gorengan sering memiliki kapitalisasi pasar kecil, tetapi volume transaksinya sangat besar bahkan bisa menyaingi saham unggulan (blue chip). Kondisi ini menunjukkan adanya pergerakan harga yang “diatur” oleh segelintir pihak.
5. Pergerakan Bid dan Offer Tak Normal
Pada saham gorengan, antrean bid (beli) dan offer (jual) sering kali tipis atau tidak merata. Hal ini membuat harga mudah “digoreng” naik-turun sesuai kendali pihak tertentu.
6. Kinerja Keuangan dan Harga Tidak Sinkron
Ada kalanya laba perusahaan naik 50%, tapi harga sahamnya justru anjlok—atau sebaliknya. Ketidaksesuaian antara fundamental dan harga saham adalah ciri utama saham gorengan.
1. Potensi Rugi Kilat
Harga bisa naik cepat, tapi jatuhnya bisa lebih cepat lagi. Banyak investor ritel terlambat keluar dan akhirnya terjebak di puncak harga.
2. Manipulasi Pasar oleh “Bandar”
Pelaku pasar besar dapat menciptakan permintaan semu dengan mengatur volume dan harga jual-beli agar terlihat ramai. Saat investor lain ikut-ikutan, bandar keluar dengan untung besar.
3. Volatilitas Ekstrem
Pergerakan harga yang sangat fluktuatif membuat saham ini tidak cocok untuk investasi jangka panjang. Bahkan trader berpengalaman pun bisa salah langkah.
1. Lakukan Analisis Fundamental
Teliti laporan keuangan, rasio utang, dan arus kas perusahaan. Saham dengan fundamental kuat lebih sulit dimanipulasi.
2. Cermati Likuiditas Perdagangan
Pilih saham dengan volume transaksi tinggi dan stabil, agar tidak mudah digerakkan oleh segelintir pihak.
3. Waspadai Lonjakan Mendadak
Jika harga naik tajam tanpa berita positif, besar kemungkinan itu indikasi saham gorengan.
4. Diversifikasi Portofolio
Jangan taruh semua dana di satu saham. Sebar investasi di berbagai sektor untuk mengurangi risiko kerugian.
5. Gunakan Data dari Sumber Kredibel
Gunakan referensi resmi seperti BEI, OJK, atau laporan keuangan emiten. Hindari rekomendasi dari grup media sosial yang tak terverifikasi.
6. Manfaatkan Analisis Teknikal
Gunakan indikator seperti moving average, volume, dan pola candlestick untuk mendeteksi pergerakan harga yang tidak wajar.
Menurut data BEI, hingga akhir 2024 terdapat lebih dari 200 saham dalam Papan Pemantauan Khusus, banyak di antaranya berpotensi sebagai saham gorengan.
Sementara itu, jumlah investor ritel di Indonesia mencapai lebih dari 8 juta, mayoritas dari generasi muda. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat banyak investor tergoda membeli saham tanpa riset mendalam, yang justru memperbesar risiko kerugian.
Saham gorengan memang menggoda karena bisa memberikan keuntungan dalam waktu singkat. Namun di balik peluang itu, tersembunyi risiko besar akibat manipulasi pasar dan lemahnya fundamental.
Sebelum membeli saham, edukasi diri dan risetlah dengan matang. Ingat, investasi bukan tentang cepat kaya, tapi tentang membangun kekayaan secara berkelanjutan.