SERAYUNEWS – Gerai perdana Arc’teryx di Beachwalk Shopping Center, Bali, yang dibuka pada awal Februari lalu sukses mencuri perhatian para pecinta produk outdoor premium.
Banyak pelanggan yang telah lama menantikan kehadiran merek ini di Indonesia menyambutnya dengan antusias.
Namun, tidak lama setelah pembukaan, muncul dugaan bahwa Arc’teryx yang hadir di Bali bukanlah bagian dari merek asli asal Kanada, melainkan merek yang telah didaftarkan oleh pihak lain.
Salah satu faktor yang menimbulkan tanda tanya di kalangan konsumen adalah adanya perbedaan mencolok dalam harga dan desain produk yang ditawarkan.
Beberapa pelanggan menyadari bahwa jaket serta perlengkapan lainnya yang dijual di Bali tampak berbeda dari yang biasa ditemukan di gerai resmi Arc’teryx di negara lain.
Data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia mengungkapkan bahwa merek Arc’teryx yang beroperasi di Indonesia terdaftar atas nama Perfect Supply Chain Co Limited, sebuah perusahaan berbasis di Tiongkok, sejak tahun 2023.
DJKI menegaskan bahwa mendaftarkan merek di Indonesia merupakan langkah krusial untuk perlindungan hukum bagi pemilik merek dagang.
Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI, Hermansyah Siregar, menjelaskan bahwa sistem perlindungan merek di Indonesia mengikuti prinsip teritorial dan first to file.
Dengan kata lain, pihak yang pertama kali mengajukan pendaftaran merek di Indonesia berhak atas perlindungan hukum di dalam negeri.
“Karena perusahaan asal Kanada tidak lebih dulu mendaftarkan mereknya di Indonesia, maka perusahaan asal Tiongkok yang telah mengajukan permohonan sejak 2019 berhak atas merek tersebut di Indonesia,” terang Hermansyah dalam pernyataan resminya pada Selasa, 25 Februari 2025.
DJKI terus mengedukasi pemilik merek asing agar segera mendaftarkan mereknya di Indonesia guna menghindari potensi sengketa di masa depan.
Kasus Arc’teryx di Bali ini memberikan gambaran nyata tentang pentingnya perlindungan merek dagang. Banyak pelanggan yang merasa bingung dan mempertanyakan keaslian produk yang dijual.
Sebagian besar bahkan mengira bahwa produk yang beredar di toko tersebut bukanlah produk asli dari Arc’teryx Kanada.
Dari sudut pandang industri ritel, kasus ini menjadi peringatan bagi para pelaku usaha untuk lebih memperhatikan aspek legalitas dalam pendaftaran merek.
Jika tidak segera mengamankan hak merek di Indonesia, risiko kehilangan kepemilikan merek di pasar lokal sangat mungkin terjadi.
Kasus Arc’teryx di Bali ini menegaskan betapa pentingnya pendaftaran merek dalam sistem hukum Indonesia yang menerapkan prinsip first to file.
DJKI Kementerian Hukum dan HAM RI menekankan bahwa perusahaan asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus segera melakukan registrasi merek dagangnya agar tidak menghadapi kendala hukum di masa mendatang.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang hukum kekayaan intelektual, baik pemilik merek maupun konsumen dapat lebih terlindungi dan menghindari potensi konflik hukum yang mungkin terjadi di kemudian hari.
***