
SERAYUNEWS – Ledakan di kawasan SMA Negeri 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat siang, 7 November 2025, mengejutkan banyak pihak. Lantas, apa arti Agartha dan 14 Words?
Insiden terjadi saat warga dan siswa tengah melaksanakan salat Jumat, dan dua titik ledakan ditemukan di sekitar masjid sekolah.
Menurut Wakil Menko Polhukam Lodewijk Freidrich Paulus, sumber ledakan berasal dari titik-titik tersebut dan menyebabkan kepanikan besar di lingkungan sekolah.
Lebih dari 50 orang mengalami luka bakar ringan hingga gangguan pendengaran.
Situasi bertambah tegang setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan bahwa pelaku merupakan seorang pelajar dari lingkungan sekolah tersebut. Pelaku kini masih menjalani perawatan medis.
Namun satu hal lain yang menyedot perhatian publik adalah temuan polisi di lokasi kejadian. Benda mirip senjata api yang dibawa pelaku dipenuhi tulisan-tulisan yang merujuk pada ideologi ekstrem kanan global.
Di badannya terdapat coretan 14 Words. For Agartha dan Brenton Tarrant. Welcome to Hell. Temuan itu membuat aparat memperluas penyelidikan, khususnya terkait dorongan ideologis yang memengaruhi pelaku.
Dua istilah paling kontras dari tulisan tersebut adalah Agartha dan 14 Words, dua nama yang sering muncul dalam literatur ekstremis sayap kanan modern.
Untuk memahami konteksnya, Anda perlu melihat sejarah panjang yang memadukan mitologi, okultisme, dan politik identitas.
Istilah Agartha atau kadang ditulis Agharta, Agarttha, dan Asgartha, sudah lama hidup dalam tradisi esoteris.
Konsep ini bukan sekadar cerita rakyat biasa, tetapi merupakan hasil persilangan antara okultisme Eropa, spiritualisme Timur, serta ideologi ekstrem kanan yang berkembang sejak awal abad ke-20.
Gagasan Agartha pertama kali diperkenalkan oleh Louis Jacolliot, penulis Prancis abad ke-19.
Ia menggambarkan Asgartha sebagai Kota Matahari yang diperintah Brahmatma sebelum akhirnya menghilang ke dunia bawah tanah setelah kehancuran besar.
Pemikiran ini kemudian dipertegas oleh Saint-Yves d’Alveydre yang menggambarkan Agartha sebagai pusat teokrasi rahasia yang menghimpun jutaan manusia dengan tatanan spiritual ketat.
Dalam narasi esoterik tersebut, Agartha bukan hanya tempat fisik, tetapi simbol dunia ideal yang bersih dari dekadensi moral.
Narasi ini kemudian dengan mudah diserap kelompok ekstrem kanan yang obsesif pada gagasan kemurnian ras dan kejayaan peradaban kuno.
Di era pasca-Perang Dunia II, penulis seperti Wilhelm Landig dan Miguel Serrano bahkan menenun mitologi ini ke dalam ideologi Neo-Nazi.
Mereka mengklaim bahwa ras Arya Hyperborean, yang dalam mitologi ekstremis disebut sebagai ras superior, melarikan diri ke Agartha setelah bencana global, dan suatu saat akan muncul kembali sebagai penyelamat umat manusia.
Serrano bahkan mengaitkan Agartha dengan simbol Matahari Hitam, yang kini banyak digunakan dalam ikonografi supremasi kulit putih.
Walaupun bagi sebagian orang Agartha hanyalah mitologi, bagi kelompok ekstremis, istilah ini berubah menjadi lambang identitas.
Bukan tentang lokasi fisik, tetapi simbol tentang dunia murni yang ingin mereka ciptakan.
Tulisan kedua yang muncul pada senjata mainan pelaku adalah 14 Words, istilah yang telah lama dikenal sebagai slogan utama ideologi supremasi kulit putih.
Melansir Library of Congress Amerika Serikat, frasa lengkapnya berbunyi sebagai berikut.
“We must secure the existence of our people and a future for white children.”
Kalimat tersebut dibuat oleh David Lane, anggota kelompok ekstremis The Order pada 1980-an. Angka 14 merujuk langsung pada jumlah kata dalam kalimat itu.
Dalam jaringan ekstrem kanan internasional, 14 Words berfungsi sebagai kode: pendek, sederhana, dan mudah diselipkan dalam simbol, tato, hingga pesan propaganda.
Slogan ini juga menjadi pondasi gerakan rasis dan Neo-Nazi modern, serta kerap muncul dalam berbagai aksi kekerasan berbasis kebencian.
Karena sifatnya yang tersebar luas di internet, frasa ini mudah diakses remaja dan pelajar yang rentan terpapar ideologi radikal secara daring, terutama di forum-forum anonim.
Nama lain yang tercantum pada senjata mainan pelaku adalah Brenton Tarrant, pelaku penembakan massal di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada Maret 2019.
Mengutip Encyclopaedia Britannica, Tarrant menewaskan 51 orang dan melukai 89 lain, sembari menyiarkan aksinya secara langsung di media sosial.
Kasus Tarrant menjadi simbol radikalisasi generasi digital. Ia meninggalkan manifesto yang penuh referensi terhadap mitologi ekstrem kanan, termasuk White Replacement Theory dan 14 Words.
Sejak itu, namanya banyak muncul pada kasus-kasus serupa sebagai bentuk penghormatan di kalangan pelaku lone wolf.
Dua istilah, yakni Agartha dan 14 Words memiliki fungsi berbeda dalam literatur ekstrem kanan, tetapi keduanya bertemu di satu titik.
Adapun sebagai simbol identitas bagi mereka yang ingin menegaskan superioritas ras atau peradaban tertentu.
Dalam konteks insiden SMAN 72 Jakarta, tulisan-tulisan tersebut menunjukkan bagaimana ideologi ekstrem bisa menembus ruang digital dan menyasar pelajar.
Internet telah menjadi ruang subur bagi penyebaran narasi konspiratif dan propaganda kekerasan yang menyaru sebagai mitologi, humor, atau sekadar estetika.
Memahami istilah-istilah ini bukan untuk menyebarkannya, tetapi untuk mengenali pola radikalisasi dan mencegah pengaruhnya menyebar lebih jauh.***