SERAYUNEWS- Dalam dunia politik Indonesia, istilah “bohir” menjadi semakin populer dan sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama terkait dengan kampanye dan pemilihan umum.
Meskipun terdengar seperti istilah baru, “bohir” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yakni “bouwheer”, yang berarti pemilik proyek atau owner.
Di Indonesia, kata ini kemudian mengalami perluasan makna dan dikaitkan dengan sosok pemberi dana dalam konteks politik.
Dalam ranah politik, “bohir” dikenal sebagai pihak yang memfasilitasi atau menyokong pendanaan bagi seseorang atau sekelompok orang yang maju dalam pemilihan umum.
Baik itu pemilihan kepala daerah (pilkada), legislatif, maupun pemilihan presiden. Dengan kata lain, bohir bisa diartikan sebagai rentenir politik.
Bohir ini bisa berupa individu, kelompok, atau perusahaan yang memiliki modal besar dan bersedia menyediakan dana untuk membantu kandidat politik agar dapat bersaing dalam pemilihan.
Di dunia politik, terutama saat kampanye, dana memegang peran yang sangat penting. Mulai dari biaya logistik, pemasangan iklan, hingga menggelar acara-acara politik, semua membutuhkan anggaran besar.
Di sinilah peran “bohir” menjadi krusial. Mereka adalah sosok di balik layar yang memberikan dukungan finansial kepada calon yang mereka dukung.
Bohir memiliki motivasi yang beragam dalam mendanai kandidat politik.
Sebagian mungkin percaya pada visi dan misi kandidat yang mereka dukung, sementara yang lain mungkin memiliki kepentingan bisnis atau politik yang diharapkan akan terakomodasi jika kandidat tersebut terpilih.
Oleh karena itu, “bohir” dalam politik sering dianggap sebagai orang yang memiliki pengaruh besar yang dipandang negatif, meskipun mereka tidak terlibat langsung di panggung kampanye.
Fenomena ini kerap menimbulkan spekulasi tentang adanya “deal” di balik dukungan finansial.
Bohir bisa jadi berperan sebagai pengendali tak langsung kebijakan politik setelah kandidat yang mereka dukung naik ke tampuk kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian membuat istilah “bohir” kerap dianggap sebagai pengacau NKRI.
Keberadaan bohir juga sering dianggap sebagai beban bagi demokrasi. Publik khawatir bahwa dukungan finansial dari bohir bisa membuat kandidat yang terpilih tidak sepenuhnya independen dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Ada anggapan bahwa kandidat yang berutang budi kepada bohir akan merasa terikat untuk memenuhi kepentingan pihak yang mendanainya.
Hal ini bisa berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mempengaruhi kebijakan yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat.
Istilah “bohir” yang berasal dari kata Belanda “bouwheer” kini mengalami perluasan makna di Indonesia, terutama dalam konteks politik.
Bohir menjadi sosok di balik layar yang mendanai dan memfasilitasi kandidat politik untuk maju dalam pemilihan.
Peran bohir dalam politik sangat penting, terutama dalam menyediakan dana dan sumber daya untuk kampanye.
Namun, peran ini juga kerap menimbulkan pertanyaan mengenai potensi konflik kepentingan setelah kandidat yang mereka dukung berhasil memenangkan pemilihan.***