SERAYUNEWS – Permintaan nafkah yang diajukan Paula Verhoeven saat bercerai dari Baim Wong menuai perhatian publik. Dalam gugatannya, Paula meminta nafkah iddah, madhiyah, dan mutah.
Tiga istilah ini mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Apa arti masing-masing nafkah ini dan bagaimana hukumnya dalam perceraian?
Apabila Anda penasaran dengan arti dari nafkah yang diminta oleh Paula Verhoeven, Anda bisa menyimak artikel ini sampai akhir. Lantaran, redaksi akan menyajikannya untuk Anda.
Dalam sidang cerainya dengan Baim Wong, Paula mengajukan tuntutan tiga jenis nafkah tersebut.
Ia meminta nafkah iddah sebesar Rp600 juta, nafkah madhiyah Rp800 juta, dan nafkah mutah senilai Rp3 miliar.
Namun, hakim hanya mengabulkan sebagian dari permintaan tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa Paula hanya berhak menerima nafkah mutah sebesar Rp1 miliar.
Sedangkan dua nafkah lainnya—iddah dan madhiyah—ditolak oleh majelis hakim. Penolakan itu didasarkan pada status Paula yang dianggap melakukan nusyuz.
Nusyuz dalam istilah hukum Islam berarti pembangkangan istri terhadap suami, misalnya tidak lagi tinggal serumah atau melakukan perselingkuhan.
Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa Paula terbukti nusyuz karena sudah meninggalkan rumah bersama anak-anak sejak Oktober 2022 dan tidak kembali.
Status nusyuz berimplikasi besar dalam hukum perceraian. Seorang istri yang dianggap nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah selama masa iddah dan tidak bisa menuntut nafkah yang tidak dipenuhi selama pernikahan.
Dalam konteks perceraian menurut hukum Islam, seorang perempuan memiliki hak atas beberapa jenis nafkah dari mantan suaminya. Ketiganya memiliki makna dan tujuan yang berbeda.
Nafkah iddah adalah kewajiban mantan suami untuk memberikan nafkah kepada mantan istrinya selama masa iddah.
Masa iddah adalah waktu tunggu setelah perceraian, yang biasanya berlangsung antara tiga hingga empat bulan, tergantung pada apakah istri sedang hamil atau tidak.
Tujuannya untuk memastikan bahwa tidak terjadi kehamilan yang membingungkan garis keturunan, sekaligus memberi waktu bagi pasangan untuk berpikir ulang sebelum berpisah total.
Sementara itu, nafkah madhiyah merujuk pada nafkah yang belum atau tidak dipenuhi selama masa pernikahan.
Jika selama masih berstatus suami istri ada hak-hak nafkah yang diabaikan, maka istri bisa menuntut pemenuhannya sebagai bagian dari nafkah madhiyah saat proses cerai.
Yang terakhir, nafkah mutah. Berbeda dari dua jenis nafkah sebelumnya, nafkah mutah bersifat sebagai pemberian hadiah dari mantan suami kepada mantan istri.
Fungsinya lebih kepada bentuk penghormatan atas ikatan yang pernah ada. Biasanya, nafkah mutah berupa uang atau barang dengan jumlah tertentu yang ditentukan oleh hakim.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149, disebutkan bahwa suami wajib memberikan nafkah, termasuk mutah dan iddah, kepada mantan istri yang tidak nusyuz.
Selain itu, Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur kewajiban mantan suami dalam hal pemeliharaan dan pemberian nafkah.
Namun, pelaksanaan pemberian nafkah ini bergantung pada pertimbangan hakim.
Hakim akan melihat latar belakang perceraian, kemampuan finansial suami, serta apakah istri dalam posisi yang berhak menerima.
Penutup
Ketika pernikahan berakhir, masih ada hak dan kewajiban yang mengikat kedua belah pihak, terutama dalam hal nafkah.
Nafkah iddah, madhiyah, dan mutah bukan sekadar istilah hukum, melainkan bentuk perlindungan kepada perempuan pascacerai.
Namun, realisasi dari hak ini sangat bergantung pada situasi masing-masing, termasuk rekam jejak selama pernikahan.
Kasus Paula Verhoeven dan Baim Wong memberi kita pelajaran bahwa meski seseorang memiliki hak untuk menuntut, pengadilan tetap akan menilai kelayakan dari tuntutan tersebut berdasarkan hukum dan fakta.***