SERAYUNEWS – Setiap bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia dan berbagai belahan dunia memperingati Hari Raya Waisak. Lantas, mengapa dirayakan di Candi Borobudur?
Di Indonesia, perayaan ini punya keistimewaan tersendiri karena digelar di Candi Borobudur, Magelang, yang menjadi salah satu situs Buddha terbesar di dunia. Tapi tahukah Anda, Waisak bukan hanya memperingati kelahiran Sang Buddha?
Banyak orang menyangka bahwa Waisak adalah hari ulang tahun Buddha. Padahal, Hari Raya Waisak menyatukan tiga peristiwa penting sekaligus dalam kehidupan Siddhartha Gautama.
Apa saja itu? Simak penjelasan berikut agar Anda bisa memahami makna sebenarnya di balik perayaan agung ini.
Waisak dikenal juga dengan sebutan Vesak, Wesak, atau Buddha Purnima. Diambil dari nama bulan dalam kalender lunar Buddhis, yaitu Vaisakha atau Vesākha.
Dalam bahasa Sanskerta, bulan purnama disebut “Purnima”, sehingga hari besar ini pun disebut Buddha Purnima.
Yang membuat Waisak berbeda dari hari lahir biasa adalah karena Waisak memperingati tiga momen sakral dalam hidup Sang Buddha: kelahiran di Taman Lumbini, pencapaian pencerahan di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, dan wafat (parinirvana) di Kusinara.
Ketiganya diyakini terjadi pada hari purnama di bulan yang sama, menjadikan Waisak sebagai perayaan Trisuci yang begitu mendalam bagi umat Buddha.
Di beberapa negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan, hari lahir Buddha dirayakan secara terpisah dari Waisak.
Biasanya diperingati pada tanggal 8 bulan keempat dalam kalender lunar, dan lebih berfokus pada kelahiran Sang Buddha saja.
Sedangkan Waisak, seperti dirayakan di Indonesia, memperingati ketiga peristiwa penting tadi secara bersamaan.
Dengan kata lain, Waisak mencakup hari lahir Buddha, tapi memiliki cakupan makna yang jauh lebih luas, termasuk pencerahan dan parinirwana. Ini yang membuat Waisak menjadi momen refleksi spiritual yang mendalam.
Candi Borobudur bukan sembarang tempat. Terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, candi ini dikelilingi lanskap alam yang menawan: Gunung Merapi dan Merbabu di timur, Gunung Sumbing dan Sindoro di utara, serta Pegunungan Menoreh di selatan.
Selain itu, dua sungai besar yaitu Progo dan Elo mengapit kawasan ini. Borobudur dibangun antara tahun 780–840 Masehi oleh Dinasti Syailendra, saat kejayaan agama Buddha Mahayana berkembang pesat di Nusantara. Candi ini dirancang sebagai tempat ibadah dan ziarah.
Struktur bangunannya berbentuk mandala, mencerminkan alam semesta dan perjalanan spiritual manusia dari kehidupan duniawi menuju nirwana.
Setelah sempat terkubur dan dilupakan, Borobudur ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh pasukan Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles. Butuh waktu hingga 1835 untuk membersihkan area candi dari tanah dan semak belukar.
Tradisi merayakan Waisak di Candi Borobudur pertama kali dimulai pada 1929. Saat itu, perayaan ini diinisiasi oleh Himpunan Teosofi Hindia Belanda, yang anggotanya merupakan kombinasi antara kaum ningrat Jawa dan warga Eropa.
Mereka melihat Borobudur sebagai pusat spiritual yang layak dijadikan lokasi perayaan agung umat Buddha.
Namun, perayaan ini sempat terhenti karena masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Baru pada 1953, Waisak kembali dirayakan di Borobudur.
Perayaan kembali vakum pada 1973 karena candi sedang dalam proses pemugaran besar-besaran.
Untuk sementara, lokasi perayaan dipindah ke Candi Mendut yang terletak tidak jauh dari Borobudur.
Waisak di Borobudur selalu dirayakan dengan berbagai ritual keagamaan. Salah satu yang paling ikonik adalah prosesi jalan kaki dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.
Umat berjalan sambil membawa api suci yang diambil dari Mrapen (sebuah sumber api abadi di Grobogan) dan air suci dari mata air di Umbul Jumprit, Temanggung.
Setibanya di Borobudur, umat melakukan pradaksina atau mengelilingi candi searah jarum jam sebanyak tiga kali sebagai simbol penghormatan terhadap Triratna: Buddha, Dharma, dan Sangha.
Selain itu, juga dilakukan meditasi bersama dan pelepasan ribuan lampion ke langit malam, sebagai lambang harapan dan doa yang diterbangkan ke alam semesta.
Waisak di Candi Borobudur bukan sekadar upacara keagamaan. Ia adalah perwujudan toleransi, keberagaman, dan kebudayaan Indonesia.
Waisak menjadi momen penting untuk mempererat persaudaraan, bukan hanya di kalangan umat Buddha, tetapi juga bagi masyarakat lintas agama yang ingin merayakan kedamaian dan refleksi spiritual bersama.
Tak heran jika perayaan ini selalu menyedot perhatian wisatawan lokal dan mancanegara. Bahkan, beberapa tahun terakhir, Waisak di Borobudur menjadi agenda pariwisata spiritual yang rutin dipromosikan oleh pemerintah.
Penutup
Perayaan Waisak di Candi Borobudur adalah momen yang menggabungkan sejarah, spiritualitas, dan budaya dalam satu kesatuan yang indah.
Di balik kemegahan candi dan ritual sakral, tersimpan pesan universal tentang pentingnya cinta kasih, kebijaksanaan, dan kedamaian.
Kini, Anda sudah tahu bahwa Waisak bukan hanya hari lahir Buddha, melainkan perjalanan batin menuju pencerahan yang layak untuk direnungkan bersama. Semoga informasi ini bermanfaat untuk Anda.***