SERAYUNEWS- Perbedaan penetapan awal bulan dalam kalender Hijriah, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, masih sering terjadi di Indonesia hingga kini.
Hal ini bukan hal baru, melainkan telah berlangsung sejak era kolonial hingga masa reformasi.
Kepala Pusat Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Marwadi dalam keterangannya memberikan penjelasan, bahwa perbedaan dalam penentuan bulan Hijriah ini telah terekam dalam sejarah panjang perjalanan bangsa.
Inti dari semua perbedaan ini adalah metode dan kriteria penentuan awal bulan yang tak seragam.
Ada yang mengandalkan rukyat, hisab, hingga tradisi lokal yang diwariskan turun-temurun.
Meski berbeda cara, semua bertujuan sama: mencari waktu terbaik untuk beribadah kepada Allah Swt.
Ketika Hindia Belanda masih bercokol di Nusantara, perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal sudah mencuat.
Di Minangkabau pada 1207 H/1792 M, dua tarekat besar Syattariyah yang mengandalkan rukyat (pengamatan hilal) dan Naqsyabandiyah yang memakai hisab (perhitungan astronomi) menetapkan awal Ramadan secara berbeda.
Fenomena serupa terulang pada 1285 H/1868 M, ketika pemerintah kolonial meminta ulama Betawi, Sayyid Usman, menjelaskan metode penetapan Ramadan untuk meredam konflik antara ahli rukyat dan ahli hisab.
Perbedaan makin mencolok pada 1336 H/1918 M. Berdasarkan perhitungan tradisional Jawa, pemerintah kolonial menetapkan awal Ramadan jatuh pada Selasa, 11 Juni 1918.
Namun, pengaruh kuat Muhammadiyah yang mengusung metode hisab murni menyebabkan sejumlah kelompok, termasuk di Kudus dan Surakarta, memulai puasa sehari lebih awal, yakni pada Senin, 10 Juni.
Tahun 1930-an, diskusi seputar perbedaan hari raya terus berlanjut, salah satunya melibatkan tokoh Masyumi, Mohammad Roem.
Bahkan setelah Indonesia merdeka, perbedaan tetap ada. Pada 1945, dua versi Idul Fitri dirayakan pada 7 dan 8 September, dipicu perbedaan metode penetapan hari raya.
Di masa Orde Baru, ketidakseragaman terjadi di berbagai tahun seperti 1985 (1405 H), 1992 (1412 H), 1993 (1413 H), 1994 (1414 H), dan 1998 (1418 H).
Pemerintah, ormas Islam, dan kelompok keagamaan lainnya kerap tidak sejalan dalam menentukan waktu ibadah penting.
Memasuki era reformasi, perbedaan makin sering diberitakan dan menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Banyak kelompok seperti Islam Aboge, Tarekat Naqsyabandiyah Padang, Jamaah An-Nazir Gowa, hingga Jamaah Aolia Gunung Kidul, memiliki sistem penanggalan tersendiri.
Hal ini membuat perbedaan penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha terus terjadi, seperti yang tercatat pada 2000, 2001, 2002, 2003, 2006, 2007, 2011, hingga 2015.
Demikian sejarah perbedaan penentuan bulan Kalender Hijriah di Indonesia. Semoga bermanfaat.***