SERAYUNEWS – Polemik kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran lagu di hotel, restoran, dan kafe terus bergulir.
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho, menilai perlu adanya regulasi yang lebih tegas dan jelas agar tercipta keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan beban bagi pelaku usaha.
Menurutnya, negara harus hadir untuk memberikan aturan pasti. Penghargaan terhadap karya seni mutlak diperlukan karena proses kreatif tidaklah mudah.
“Masalah royalti itu perlu dipertegas karena terkait hak cipta seseorang. Membuat karya itu butuh pengorbanan, pemikiran, modal, bahkan jiwa dan raga,” kata Hibnu.
Prof. Hibnu mengkritik Pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatur masa perlindungan seumur hidup pencipta plus 70 tahun setelah meninggal dunia. Ia menilai, durasi tersebut terlalu lama dan memberatkan pengguna karya.
Sebagai alternatif, ia mengusulkan model perlindungan seperti UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yaitu berlaku 10 tahun dan dapat perpanjang.
“Harus ada jalan tengah agar pencipta terlindungi, pengguna tidak terbebani royalti terus-menerus, dan karya pada waktunya bisa dinikmati masyarakat luas,” tegasnya.
Sambil menunggu revisi aturan, Hibnu mendorong pencipta lagu dan seniman untuk proaktif mendaftarkan karya mereka ke Kementerian Hukum dan HAM. Langkah ini akan memberikan perlindungan hukum dan mengurangi potensi sengketa.
Ia juga menilai revisi UU Hak Cipta dan aturan turunannya, termasuk PP Nomor 56 Tahun 2021, harus segera dilakukan agar relevan dengan perkembangan zaman.
“Reformulasi aturan royalti diperlukan agar pencipta tidak kehilangan hak ekonomi, pengguna tidak terbebani terlalu lama, dan ada kejelasan kegiatan mana saja yang bebas royalti,” tutupnya.