SERAYUNEWS— Einstein dalam berbicara dengan orang selalu menggunakan bahasa egaliter, bahasa yang memperlakukan lawan bicaranya dalam derajat yang setara
“Saya berbicara kepada setiap orang dengan cara yang sama, apakah ia seorang tukang sampah ataupun presiden universitas,” ujar Einstein.
Idem dito dengan bahasa Ngapak, menyiratkan bahasa yang egaliter atau setara. Bahasa Banyumasan tidak mengenal tingkatan atau kasta seperti bahasa Jawa umumnya. Kata yang sama dipakai untuk berbicara dengan orang muda atau orang tua dalam status sosial apapun.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito dalam sebuah kesempatan mengatakan bahasa Ngapak lahir dari budaya yang egaliter.
“Egaliter adalah tradisi untuk tidak membedakan status sosialnya secara hirarki, dan tradisi ini juga punya kultur cablaka yang selalu terbuka orangnya, blakblakan,” ujar Arie (26/8/2017).
Bahasa ini disebut dengan istilah bahasa Ngapak karena huruf k di akhir kata pelafalannya tajam. Selain itu, bahasa Banyumasan juga mempunya ciri-ciri dominasi vokal a. Ini berbeda dengan bahasa Jawa memiliki dominasi vokal o.
Menurut budayawan asli Banyumas, Ahmad Tohari, bahasa Ngapak justru merupakan kelanjutan dari bahasa Kawi atau bahasa Jawa kuno dan tidak punya kasta.
Karena itu, masyarakat harusnya tahu, justru bahasa Ngapak adalah bahasa Jawa yang masih murni. Ngapak masuk ke dalam Jawadwipa atau ngoko lugu. Dalam kesusastraan Jawa, bahasa Banyumasan merupakan bahasa Jawa murni.
Kemudian, seiring dengan perkembangan zaman, bahasa Jawa mengalami perubahan dari vokal a menjadi o. Misalnya, kata apa menjadi opo. Perubahan itu, kata penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, bermula sejak Mataram berdiri pada abad ke-17.
Lantas mengapa orang Banyumas tetap bertahan dengan bahasa Ngapak? Selain karena masih menyisakan tradisi Budha yang tanpa kasta, juga letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan.
“Juga letak Banyumas cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa, dalam hal ini Kasusanan Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Kalau sekarang dekat sekali, tapi pada masa lalu sangat jauh,” kata Tohari dalam penyampaian orasi kebudayaan dalam penutupan Dies Natalies ke-21 Institut Teknologi Telkom Purwokerto (28/5/2023)
Tohari juga menjelaskan karena daerah Banyumas dibentengi sungai Citanduy di sisi barat dan sungai Serayu di sisi timur mengakibatkan bahasa ini tidak mendapat pengaruh dari kerajaan Mataram di sisi timur. Bahasa ini juga tidak terpengaruh kerajaan Sunda Priangan di sisi barat.
Penjelasan Tohari ini sama dengan Budiono Herisatoto dalam bukunya Banyumas: Sejarah Budaya dan Watak yang menyebut lokasi daerah berbahasa Ngapak yang jauh dari pusat kekuasaan membuat budaya yang ada di masyarakat masih jarang yang terpengaruhi budaya ningrat.
Masyarakat penutur Ngapak orang sebut sebagai adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dan dekat dengan batu), yang artinya mereka jauh dengan rajanya baik secara geografis maupun interaksi kebudayaan. Hal ini membuat kultur bahasa yang dibentuk oleh kerajaan tidak banyak masuk ke wilayah Banyumas.
Sampai sekarang, bahasa Ngapak menjadi simbol karakter yang sederhana dan lugas. Cara bertuturnya juga cenderung terkesan blak-blakan (blakasuta) tidak mempersoalkan status sosial.
Bukan berarti mengabaikan tata krama, tapi mengedepankan prinsip kesetaraan. Perlawanan kultural ini inti dari bahasa Ngapak.
Jika Einstein tahu ada bahasa yang lahir dari rahim egalitarian Banyumas ini, pasti dia akan ikut berngapak ria. Einstein tahu, bahasa Ngapak adalah bahasa perlawanan kultural.*** (O Gozali)