SERAYUNEWS-Yayasan Tlasih 87 yang merupakan yayasan yang memiliki konsentrasi terhadap kebudayaan Jawa memiliki sebuah permintaan. Mereka meminta agar pemerintah Kabupaten Banjarnegara menjadikan baju mangkokan yang merupakan baju khas Dieng sebagai baju adat resmi bagi Kabupaten Banjarnegara. Hal ini diungkapkan dalam audiensi dengan DPRD Banjarnegara, Senin (17/2/2025).
Ketua Umum Yayasan Tlasih 87 Banjarnegara Sigit Dwi Sasongko mengatakan, baju itu memiliki sejarah panjang sejak zaman purba. Bahkan, dari penuturan sesepuh yang juga juru kunci Dieng Kulon menyebutkan jika baju tesebut tetap lestari sejak zaman purba hingga Mataram Islam.
Baju mangkokan berwarna hitam tanpa kerah dan berkancing dengan kombinasi celana hitam komprang serta ikat kepala lenting yang juga berwarna hitam. Kemudian ada sarung dikalungkan ke leher. Dia mengatakan, baju tersebut juga dipakai dalam perjuangan. Pakaian tersebut, katanya, dikombinasi dengan memakai sandal jepit sebagai alas kaki serta bersenjatakan bambu runcing.
“Pakaian ini menjadi bagian dan saksi sejarah perjuangan masyarakat Dieng,” katanya.
Untuk itu, Yayasan Ltasih 87 berharap pakaian adat Dieng yang dikenal dengan mangkokan ini dapat diusulkan dan dijadikan sebagai baju resmi adat Kabupaten Banjarnegara.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Banjarnegara Agus Junaidi mengatakan, keberadaan baju mangkokan ini memang sangat menarik. Sehingga usulan ini dinilai perlu untuk ditindaklanjuti dengan kajian sejarah yang lebih mendalam. Nantinya, teknis penetapan ini dapat dilakukan dengan dibuat Peraturan Bupati (Perbup) dan akan dilaksanakan oleh OPD.
“Saya pikir sah-sah saja masukan seperti ini, dan ini hal positif dalam rangka memperkuat budaya Banjarnegara,” ujarnya.
Adanya usulan baju mangkokan sebagai baju adat daerah Banjarnegara ini juga mendapatkan dukungan dari Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Banjarnegara Heni Purwono. Namun sebelum hal tersebut, diharapkan ada kajian terhadap baju adat tersebut secara komperhensif, dengan begitu ke depan ketika sudah ditetapkan tidak menimbulkan perdebatan.
“Kalau acuannya Dieng, mungkin kita juga perlu melihat relief candi-candi maupun arca yang ada di sana. Namun saya rasa itu hal yang sulit diwujudkan, karena zaman dahulu rata-rata memakai baju lancingan, hanya bagian bawah yang tertutup kain. Maka perlu dicari referensi yang lebih dalam dan jelas, pada era apa baju adat mangkokan itu dipakai. Bisa jadi dikaitkan dengan era tahun 1571 dimana Banjarnegara atau Banjarpetambakan berdiri,” katanya.
Ketua DPRD Banjarnegara Anas Hidayat berharap, aspirasi dari Yayasan Tlasih 87 ini dapat memperkuat kebudayaan Banjarnegara. “Kalau ingin arahnya ke Dieng sentris, ayo kita dukung. Kaji secara mendalam, jangan angin-anginan. Juga ke depan saya harap Dieng juga lebih kita tunjukkan jati diri budayanya, sepertinya kegiatan-kegiatan dalam gelaran Dieng Culture Festival harus lebih mencirikan budaya Dieng,” katanya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinparbud Banjarnegara Yelly Harmoko mengungkapkan, sebelum ditetapkan sebagai baju adat resmi, kajian yang mendalam tentang baju mangkokan dapat menjadikan baju tersebut sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) asli Banjarnegara.
“Silakan dikaji lebih dalam, akan kita fasilitasi untuk dijadikan sebagai WBTB. Kita sudah punya Dawet Ayu yang sudah ditetapkan sebagai WBTB dan berikutnya adalah ritus Ujungan dan Batik Gumelem,” ujarnya.