SERAYUNEWS- Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo mengungkapkan, politik uang atau money politics masih menjadi salah satu masalah paling krusial dalam pelaksanaan Pemilihan Umum atau Pemilu di Indonesia.
Menurut Bamsoet, sapaan akrabnya, harapan terhadap Pemilu sebagai instrumen perubahan politik kini menjadi pertanyaan publik.
Pemilu idealnya jadi momentum rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa secara adil dan demokratis. Namun, maraknya praktik politik uang membuat esensi tersebut terdistorsi.
“Pemilu sering kali jadi ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke uang atau kekuasaan,” ujar Bamsoet.
Hal itu Bamsoet sampaikan saat memberikan Kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, secara daring, di Jakarta, Kamis (12/6/25).
Bamsoet juga menyoroti pentingnya partisipasi politik yang inklusif dan adil sebagai pilar demokrasi.
Menurutnya, kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, seperti perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin, seharusnya mendapat ruang lebih besar dalam menentukan arah kebijakan publik.
“Kelompok marginal bukan sekadar pelengkap dalam demokrasi. Mereka memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depan bangsa. Jika mereka terus diabaikan, maka hasil kebijakan akan bias dan tidak mewakili kepentingan rakyat secara menyeluruh,” jelas Bamsoet.
Ia menekankan bahwa keterlibatan aktif dari kelompok tersebut bisa menjadikan demokrasi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk disrupsi teknologi dan ketimpangan sosial.
Mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024, Bamsoet menyebut bahwa sekitar 35% pemilih menentukan pilihannya karena uang.
Fakta ini membuktikan bahwa politik uang masih memiliki daya pengaruh tinggi terhadap keputusan masyarakat dalam memilih calon pemimpin.
Lebih memprihatinkan, sebagian masyarakat mulai menganggap politik uang sebagai budaya politik yang lumrah, bukan pelanggaran demokrasi.
Hal ini berdampak pada semakin sulitnya kelompok dengan sumber daya terbatas untuk bersaing secara sehat dalam kontestasi politik.
Bamsoet menegaskan bahwa struktur politik Indonesia masih sangat mahal dan eksklusif. Banyak calon potensial dari kelompok marginal yang gagal masuk ke panggung politik karena terbentur biaya tinggi dan minimnya jaringan politik.
Padahal mereka memiliki kapasitas dan integritas untuk mewakili aspirasi masyarakat.
“Persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan aturan. Kita butuh ekosistem politik yang sehat, komitmen elite yang kuat, dan pemberdayaan masyarakat sipil agar demokrasi benar-benar inklusif,” katanya.
Bamsoet mengajak pemerintah dan legislatif untuk mengembangkan forum-forum aspirasi yang melibatkan kelompok marginal.
Forum tersebut harus bersifat partisipatif dan benar-benar terintegrasi ke dalam proses pembuatan undang-undang dan pengawasan kebijakan publik.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan politik yang kontekstual, terutama bagi generasi muda.
Literasi politik yang rendah membuat banyak pemuda apatis terhadap politik. Oleh karena itu, diperlukan metode edukasi yang menarik, seperti lokakarya, simulasi parlemen, kampanye digital, dan diskusi komunitas.
“Pendidikan politik tidak harus kaku. Justru harus disesuaikan dengan gaya hidup generasi muda agar mereka merasa relevan dan tertarik untuk terlibat,” tambah Bamsoet dalam keterangan tertulisnya.
Lebih lanjut, Bamsoet mendorong partai politik untuk aktif menumbuhkan kepemimpinan dari kelompok yang selama ini termarginalkan.
Menurutnya, diperlukan program pelatihan kepemimpinan politik yang inklusif, terjangkau, dan berkelanjutan, termasuk sistem mentoring langsung dengan politisi senior.
Ia menyontohkan, perempuan yang berhasil duduk di legislatif terbukti mendorong lahirnya kebijakan progresif, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022.
Keberhasilan itu tak lepas dari dorongan kolektif legislator perempuan dan masyarakat sipil yang konsisten memperjuangkannya.
Di sisi lain, legislator muda juga telah menunjukkan perubahan dalam gaya komunikasi politik dan fokus isu, seperti digitalisasi pelayanan publik, keberlanjutan lingkungan hidup, serta transparansi anggaran.
Meski jumlah mereka belum dominan, pengaruhnya dalam menggeser kultur politik lama mulai terasa.
Namun, Bamsoet mengingatkan bahwa semua upaya tersebut akan sia-sia jika sistem politik masih dikuasai oleh praktik transaksional yang koruptif.
Oleh sebab itu, ia menyerukan agar reformasi pendanaan partai politik, transparansi anggaran kampanye, dan penegakan hukum terhadap politik uang menjadi agenda utama.
“Kalau sistemnya tidak dibenahi, keberagaman hanya akan jadi formalitas. Akses kekuasaan tetap ditentukan oleh uang dan koneksi, bukan oleh kompetensi dan representasi rakyat,” pungkasnya.
Bamsoet menegaskan bahwa politik uang adalah ancaman nyata bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Untuk mewujudkan demokrasi yang inklusif dan berkeadilan, negara harus segera membenahi sistem politik secara menyeluruh.
Bukan hanya dari aspek regulasi, tetapi juga dari budaya politik, kepemimpinan partai, hingga pemberdayaan masyarakat sipil dan kelompok marginal.