SERAYUNEWS– Ratusan nelayan dan pengusaha perikanan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) mendatangi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2023). Mereka diundang untuk menyampaikan aspirasi nelayan dan pengusaha perikanan dari berbagai daerah dari wilayah Pantura termasuk Kabupaten Cilacap.
Ada berbagai aspirasi yang dibawa oleh masing-masing wilayah. Untuk Cilacap sendiri menyuarakan 5 aspirasi meliputi penolakan pemasangan VMS (Vessel Monitoring System) untuk kapal di bawah 30 GT, menolak kebijakan ekonomi biru Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mulai berlaku awal tahun depan, di antaranya mekanisme kuota penangkapan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Selain itu, menolak pembagian kuota dan tinjau ulang evaluasi mandiri. Pengusaha perikanan Cilacap juga meminta ada perbedaan biaya tambat labuh untuk kapal fresh dan kapal frozen serta kaji ulang luas daerah tangkapan dari 12 mil laut diperluas hingga 300 mil laut.
Suasana audensi di ruang Dirjen Perikanan Tangkap sempat memanas, ratusan peserta yang datang dari berbagai daerah ini kecewa dan memilih keluar ruangan karena tak ditemui langsung oleh Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono maupun Dirjen Perikanan Tangkap.
Meski demikian, audiensi dengan Menteri KP dan Dirjen Perikanan Tangkap tetap berlangsung dengan sejumlah perwakilan, namun audiensi di gedung yang berbeda itu dinilai tanpa ada koordinasi dengan audien yang ikut hadir di sana.
Sementara itu, perwakilan pengusaha perikanan dari Cilacap, Harjo Budiman, yang ikut beraudiensi dengan Menteri Kelautan dan Perikanan menyebut, bahwa aspirasi yang disampaikan kepada KKP belum membuahkan hasil.
“Di antara usulan-usulan yang dibawa oleh perwakilan nelayan baik Pantura dan Cilacap, kami rasa belum ada yang disepakati oleh Bapak Menteri maupun Dirjen hasilnya masih nihil terus terang. Ini nelayan masih dalam kajian untuk kelanjutannya, karena hasilnya belum didapat sesuai wacana kita,” ujarnya, didampingi Agustin yang juga pengusaha Kapal Cilacap.
Oleh karena itu, pihaknya berharap supaya pemerintah mengevaluasi terkait keputusan yang dianggap oleh nelayan itu sangat memberatkan, sehingga pemerintah diminta agar memahami dan mengerti dengan situasi keadaan nelayan saat ini.
“Langkah selanjutnya masih dikaji ulang, kita taat aturan, namun apabila terpaksa akan menggelar aksi yang lebih besar lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, dalam siaran persnya, KKP menyebut bahwa salah satu pembahasan dengan nelayan mengenai pelaksanaan kebijakan ekonomi biru Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mulai berlaku awal tahun depan. Di antaranya mekanisme kuota penangkapan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“PIT kita terapkan untuk kemajuan sektor perikanan tangkap dan juga menjaga keberlanjutan ekologi,” ungkap Menteri Trenggono.
KKP sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 tahun 2023 sebagai turunan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. KKP juga mengeluarkan Serat Edaran Men-KP Nomor 1569 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur pada 2 Oktober lalu.
Sesuai surat edaran tersebut, perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan dan pengangkutan ikan yang sebelumnya akan berubah menjadi format Penangkapan Ikan Terukur. Pengajuan perubahan format dibuka mulai 1 sampai 18 November 2023.
Sedangkan batas waktu permohonan dan layanan kuota penangkapan ikan baru akan dimulai pada 21 November sampai 29 Desember 2023. Saat ini KKP masih menyelesaikan dokumen keputusan menteri mengenai kuota penangkapan ikan tersebut.
“Kuota penangkapan saya pastikan utamanya untuk nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam negeri. Maka dari itu saya minta teman-teman juga siap dengan mekanisme penangkapan yang baru ini. Perizinannya, kewajiban PNBP-nya, peralatannya seperti VMS, saya harap dilengkapi semuanya,” ujar Menteri Trenggono.
Mengenai kuota penangkapan selama setahun, sambung Trenggono, mekanismenya pelaku usaha yang akan mengajukan jumlahnya. Proses pengajuan dilakukan secara online sehingga efektif dan efisien. Sedangkan PNBP yang harus dibayar pelaku usaha nantinya berdasarkan hasil tangkapan bukan berdasarkan kuota.
“Kalau kuota setahunnya 100 ribu ton misalnya, terus yang didapat 80 ribu ton, ya berarti PNBP yang dibayar ya 80 ribu ton itu,” beber Menteri Trenggono.