Purwokerto, Serayunews.com
Psikolog dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Dyah Astorini Wulandari MSi Psikolog memaparkan, ada empat penyebab transgender, yaitu faktor genetis, biologis, psikologis, serta lingkungan. Dari empat faktor tersebut yang paling sulit untuk disembuhkan adalah faktor biologis.
“Faktor biologis ini misalnya saat anak terlahir dengan dua alat kelamin yang melekat, maka harus dilakukan pilihan untuk menentukan salah satunya dan proses ini melalui pemeriksaan secara menyeluruh terlebih dahulu,” jelas Dyah, Selasa (10/5/2022).
Sedangkan untuk faktor genetis, psikologis ataupun lingkungan, menurut Dyah, masih ada kemungkinan untuk disembuhkan, mengingat hal tersebut diperoleh melalui proses pembelajaran atau kebiasaan. Dyah mencontohkan, anak laki-laki yang mempunyai kecenderungan menyukai mainan boneka ataupun mengenakan baju perempuan, akibat dari lingkungan atau pola asuh, maka masih terbuka kemungkinan untuk disembuhkan melalui konsultasi ataupun terapi. Dorongan psikologis untuk transgender, masih bisa dikendalikan melalui serangkaian penanganan dari para ahli.
“Ada banyak kasus, ketika anak laki-laki menggunakan baju perempuan, ada sebagian orangtua yang menganggapnya sebagai sebuah tingkah yang lucu atau menggemaskan, sehingga kebiasaan tersebut dibiarkan. Pada akhirnya ini bisa berpengaruh terhadap konsisi psikologis anak dan untuk kasus seperti ini masih sangat mungkin untuk disembuhkan,” terangnya.
Lebih lanjut Dyah memaparkan, bagi pelaku transgender sebelum mengambil keputusan untuk ganti kelamin, sangat disarankan untuk melakukan proses pemeriksaan secara menyeluruh serta konsultasi. Hal ini untuk menghindari adanya kesalahan diagnosa orientasi seks. Sebab, pada beberapa kasus ada yang sudah melakukan operasi ganti kelamin, tetapi kemudian kembali lagi ke jenis kelamin awal.
Dorongan Kuat
Sementara itu dalam kasus Faqih Al Amien (29) yang mengubah namanya menjadi Assyifa Icha Khairunnisa dan biasa disapa Icha, sejak kecil sudah muncul dorongan kuat sebagai perempuan. Icha kecil suka sekali bermain boneka barbie dan secara sembunyi-sembunyi kerap memakan baju kakaknya yang perempuan.
Sampai dengan usia 16 tahun, Icha tak lagi bisa membendung keinginannya untuk bersolek layaknya perempuan. Icha pun sampai berhenti sekolah saat baru memasuki semester 1 di SMA. Melihat anak bungsunya yang terus condong menjadi perempuan, keluarga Icha perlahan mulai berusaha berdamai dengan kenyataan.
Sejak kecil, Icha merupakan anak yang taat beragama, ia juga rajin mengaji dan selalu sholat di masjid dekat rumahnya di Desa Jipang, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Dorongan naluri perempuan yang begitu kuat membuat Icha juga berkonsultasi dengan salah satu guru ngajinya. Ia bimbang saat lebih terpanggil melakukan kewajiban salat dengan tata cara perempuan, sementara fisiknya masih terperangkap dalam tubuh laki-laki.
“Ustaz bilang, yang terpenting adalah tetap mengerjakan salat, soal diterima atau tidak ibadahnya hanya Allah SWT yang tahu,” begitu pesan Ustaz, sebagaimana disampaikan Icha.
Tak hanya dalam soal ibadah, Icha juga terus berusaha mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya dengan mendatangi psikolog. Ada tiga psikolog yang ia datangi dan jawaban yang bisa mengobati rasa penasarannya ditemui dari psikolog Rumah Sakit (RS) Sardjito, Yogyakarta.
Menurut dr Carla, psikolog di RS Sardjito, Icha terkena Gender Identity Disorder atau kelainan identitas gender, dimana ia mempunyai jiwa perempuan yang terjebak pada tubuh laki-laki. Dari sisi perasaan, sikap hingga perilaku, Icha cenderung mengarah kepada sosok perempuan. Namun, identitas kelamin yang melekat sejak lahir sebagai laki-laki.
“Saya sendiri baru tahu kalau ada jenis penyakit tersebut dan diakui di dunia kedokteran,” kata Icha.
Atas saran dr Carla, Icha akhirnya menjalani serangkaian observasi untuk melakukan operasi trans seksual. Observasi dilakukan sejak tahun 2019 dan operasi trans seksual baru dilakukan tahun 2021 di RS dr. Soetomo Surabaya. Biaya operasi mencapai ratusan juta dan semua itu dibiayai oleh orang tua Icha.
Setelah menjalani operasi trans seksual, kini Icha secara fisik sudah menjadi perempuan. Bahkan sejak 8 tahun terakhir, ia sudah memiliki kekasih dan sudah siap untuk menikah. Hanya saja, rencana tersebut terhalang oleh status Icha yang dalam daftar kependudukan masih tercatat sebagai Faqih Al Amien dengan jenis kelamin laki-laki.
Untuk mewujudkan mimpinya menikah, Icha mengajukan permohonan ganti kelamin di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto, namun permohonan tersebut ditolak. Tak putus asa, saat ini Icha dengan didampingi pengacaranya, Djoko Susanto SH, tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Soal ganti kelamin ini adalah hak asasi dan untuk kasasi ini kita menambahkan bukti-bukti baru untuk memperkuat Icha mendapatkan haknya menjadi perempuan,” jelas Djoko
Saling Belajar Menghormati
Perjuangan Icha sampai pada titik sekarang tidaklah mudah. Menurut gadis kelahiran 21 Februari 1993 ini, sejak kecil ia kerap dibully oleh teman-temannya. Bahkan sampai dengan saat ini, masih ada saja orang yang membully dengan menyebutnya sebagai ‘banci’ dan lain-lain.
Psikolog UMP, Dyah mengatakan, isu transgender memang masih menimbulkan banyak pro-kontra di Indonesia. Karena mayoritas masyarakat hanya mengakui, manusia terlahir sebagai perempuan atau laki-laki dan itu adalah kodrat. Sehingga jika ada yang berganti jenis kelamin, dipandang sebagai sebuah ketidaklaziman.
“Faktanya, pro-kontra transgender itu masih tajam. Sehingga yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengedukasi masyarakat dan pelaku transgender untuk bisa saling belajar menghormati. Masyarakat yang menolak transgender jangan sampai melakukan diskriminasi, agresi, membully ataupun melecehkan pelaku transgender. Dan sebaiknya, pelaku transgender juga jangan melakukan kampanye apalagi sosialisasi dan sejenisnya. Kesepemahaman dan saling menerima fenomena transgender, baru bisa dilakukan sampai pada tahap ini saja, yaitu saling belajar menghormati,” ungkapnya.
Icha sendiri merupakan sosok transgender yang mampu membuktikan tekad kuatnya untuk menjadi perempuan. Hinaan serta pandangan sinis dari lingkungan, tidak menyurutkan ia untuk tetap mengikuti naluri sebagai perempuan. Dan meskipun tidak sempat menyelesaikan pendidikannya, Icha juga mampu hidup mandiri dengan membangun usaha salon kecantikan.