Cilacap, serayunews.com
Kebijakan ini diambil dikarenakan ada perbedaan pendapat tentang bagaimana upaya pertahanan kawasan Jawa di antara para ahli militer Belanda, yaitu dengan membangun benteng, dengan memperbanyak tentara mobile army dan memperbanyak Angkatan Laut. Dengan demikiam, desain pembangunan benteng pun disederhanakan. Hingga akhirnya pada tahun 1879, benteng Cilacap yang terletak di sebelah utara berhadapan dengan Pantai Teluk Penyu dianggap selesai, yang kemudian diberi nama Kusbatterj Op De Landtong Te Tjilatjap, saat ini populer dengan Benteng Pendem.
Pegiat sejarah Cilacap Thomas Sutasman menjelaskan, Selain Benteng pendem, dalam kurun waktu tiga tahun, berdirinya juga benteng di Cilacap, yaitu Karang Bolong dan Banju Njappa, sehingga menjadikan Cilacap sebagai pertahanan yang paling modern dan paling kuat di Indonesia. Di tempat tersebut ditempatkan pula pasukan yang berasal dari pribumi dan Eropa.
“Pada 1883 tercatat terdapat 442 pasukan, yang terdiri dari 214 orang Eropa dan 228 orang pribumi. Namun, pada tahun 1884 wabah malaria menyerang, hingga menewaskan 106 pasukan, membuat jumlahnya berkurang menjadi 336 orang,” katanya.
Perkembangan sistem pertahanan di Kota Cilacap, kata dia, berdampak pada pembangunan infrastruktur, diantaranya jalur transportasi. Pada tahun 1888 jalur kereta api milik Staatsspoorwegen atau SS yang menghubungkan Cilacap dan Yogyakarta telah selesai. Kemudian pada 1894, jalur kereta api antara Cicalengka dan Maos juga siap digunakan, sehingga mempermudah transportasi dari Cilacap menuju Jakarta melewati Bandung.
“Kemudahan transportasi ini, berdampak positif bagi Cilacap, terutama bagi perkembangan ekonomi dan sosial budaya. Jika sebelumnya banyak yang tidak mengenal Cilacap, karena letaknya yang memang berada di daerah buntu. Namun setelah dibangunnya jalur kereta ini menjadi banyak yang mengenali kawasan ini,” ungkapnya.
Memasuki tahun 1892, Benteng di Cilacap dan Nusakambangan akan ditutup, karena pemerintah Belanda akan menggunakan Angkatan Laut dan pasukan mobile atau mobile army,namun pada saat yang bersamaan juga terdapat kebijakan untuk membuka Nusakambangan bagi masyarakat.
“Pada tahun 1905 Belanda kembali mendatangkan pasukan ke Cilacap, setelah wabah malaria berhasil diatasi dengan menggunakan kelambu, yang meliputi satu kompi infanteri dan satu pasukan artileri.
Namun pada tahun 1930 hingga 1938 seluruh pasukan perlahan ditarik dari Cilacap,” jelasnya.
Meskipun demikian, di benteng tetap ditempatkan 2 senjata pertahanan pantai, serta pusat komando untuk detasemen Cilacap. Hingga akhirnya pada tanggal 4 Maret 1942, pelabuhan Cilacap dibombardir oleh Jepang selama satu jam yang dilanjutkan pada hari berikutnya selama dua jam.
“Dalam penyerangan ini 450 orang terbunuh (mayoritas masyarakat sipil), serta banyak kapal yang sedang bersandar di pelabuhan pun rusak. Sejak itu, Cilacap berada di bawah kendali Pemerintah Jepang,” tuturnya.