SERAYUNEWS- Bolehkah malam satu suro keluar rumah? Malam Satu Suro adalah malam pergantian tahun dalam kalender Jawa—bulan Suro yang selaras dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriah.
Masyarakat Jawa memposisikan momen ini sebagai waktu yang sangat sakral dan mistis, penuh ritual introspeksi diri dan penghormatan terhadap leluhur.
Di banyak daerah, warga melakukan berbagai tradisi seperti tirakatan, kungkum, mubeng beteng, hingga kirab pusaka dalam suasana hening dan penuh khidmat
1. Kepercayaan Akan Aktivitas Makhluk Halus
Menurut kepercayaan tradisional, malam satu Suro dipercaya sebagai waktu pergerakan roh leluhur dan makhluk gaib—termasuk pasukan Nyi Roro Kidul—yang diyakini mengitari rumah dan tempat-tempat keramat.
Keluar tanpa tujuan dapat dianggap membuka diri terhadap gangguan spiritual dan potensi kesialan.
2. Ritme Spiritual: Introspeksi dan Penghindaran Hiburan
Larangan ini juga mengandung dimensi psikologis: menghindari aktivitas riuh, berkumpul, atau berpesta agar tak tergoda untuk bersenang-senang.
Sebaliknya, malam satu Suro diarahkan untuk berdiam diri, merenung, berdoa, atau melakukan kegiatan religi bersama keluarga.
3. Mitos yang Melekat dalam Budaya
Mitos ini berkembang dari ritual-ritual budaya turun-temurun sejak masa Sultan Agung saat menggabungkan kalender Saka dan Islam pada abad ke 17.
Pantangan serupa seperti “tidak boleh menikah, pindah rumah, membakar sampah” juga muncul sebagai bagian dari warisan kultural tersebut.
Menariknya, di lingkungan keraton seperti Yogyakarta dan Surakarta, justru dianjurkan datang ke keraton pada malam satu Suro untuk mengikuti kirab pusaka atau mubeng beteng.
Hal ini dilandasi perjanjian magis antara Panembahan Senopati dengan Nyi Roro Kidul, yang diyakini memberi perlindungan bagi kawula keraton.
Secara budaya, ketokohan keraton menjadi pusat spiritual yang justru aman untuk didatangi, bukan dianggap membahayakan.
Dari sudut pandang Islam, mitos seperti ini termasuk tathayyur—tahayul yang tidak logis dan tidak berdasar syariat.
Agama tidak memuat ajaran spesial untuk malam satu Muharram (Suro); yang ada adalah keutamaan bulan Muharram secara umum, seperti dianjurkan puasa sunnah
Dalam ajaran Imam Malik:
“Jangan menjauhi sebagian hari… kerjakanlah apa pun di hari apa pun…”
Dari pendapat Muhammadiyah dan Tarjihnya, mendapaki malam satu Suro dengan mitos-mitos seperti ini dianggap keliru dan perlu didakwahkan agar umat lebih kembali ke akal dan syariah.
Secara budaya Jawa, jika tidak ada tujuan khusus boleh dianggap tabu; namun tidak ada unsur hukum agama yang melarang.
Sebaliknya, jika mengikuti ritual adat yang terlaku (misalnya kirab keraton), hal itu justru dianjurkan.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah memahami nilai-nilai di balik tradisi: introspeksi, pengendalian diri, dan penghormatan spiritual tanpa terjebak dalam mitos yang membelenggu.***