SERAYUNEWS – Setiap kali Gereja Katolik memilih Paus baru, ribuan pasang mata dari seluruh dunia menatap satu titik yang sama: cerobong asap di atap Kapel Sistina, Vatikan.
Asap yang keluar dari sana bukan sekadar hasil pembakaran. Ia menjadi bahasa simbolik yang menghubungkan umat Katolik sedunia dengan proses pemilihan tertinggi dalam hierarki Gereja: konklaf.
Dalam suasana penuh harap dan doa, umat menanti dengan tegang. Satu hal yang menjadi penanda utama hasil pemilihan adalah warna asap yang keluar: hitam atau putih.
Meski sederhana, warna asap ini mengandung makna yang dalam dan telah menjadi bagian dari tradisi Gereja selama berabad-abad.
Warna asap yang keluar dari cerobong Kapel Sistina adalah tanda resmi yang menunjukkan apakah para kardinal elektor telah mencapai kesepakatan dalam memilih Paus baru.
Jika asap yang mengepul berwarna hitam, itu berarti belum ada Paus yang terpilih. Dalam bahasa Latin, ini disebut fumata nera. Asap hitam menandakan bahwa belum ada suara mayoritas dua pertiga yang tercapai.
Artinya, diskusi dan pemungutan suara masih terus berlangsung. Asap ini menjadi simbol bahwa Gereja masih dalam proses mempertimbangkan pemimpin barunya.
Sebaliknya, ketika asap putih mulai terlihat di langit Vatikan, itu menjadi pertanda bahwa Paus baru telah dipilih. Dalam tradisi gereja, ini disebut fumata bianca.
Tak lama setelah asap putih muncul, lonceng besar Basilika Santo Petrus dibunyikan. Dunia kemudian menantikan pengumuman sakral yang dikenal sebagai “Habemus Papam”, yang berarti “Kita memiliki Paus”.
Asap yang keluar dari cerobong Kapel Sistina bukanlah hasil pembakaran biasa. Sejak awal abad ke-20, Gereja Katolik mulai menggunakan bahan kimia khusus untuk memastikan warna asap bisa terlihat jelas dari kejauhan.
Ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang pernah terjadi di masa lalu, ketika warna asap sulit dibedakan.
Asap hitam dihasilkan dari pembakaran surat suara yang dicampur dengan bahan kimia seperti kalium perklorat, antrasena (senyawa dari tar batu bara), dan belerang.
Campuran ini menghasilkan asap gelap yang tebal dan mudah dikenali sebagai tanda belum ada kesepakatan.
Sementara itu, asap putih dibuat dari pembakaran surat suara yang dicampur dengan kalium klorat, laktosa (sejenis gula), dan resin kloroform.
Campuran ini menciptakan asap bersih yang terang, yang menjadi sinyal bahwa Paus baru telah terpilih.
Tradisi penggunaan asap sebagai penanda hasil konklaf telah berlangsung sejak abad ke-15. Awalnya, surat suara dibakar semata-mata untuk mencegah kebocoran informasi dan menjaga kerahasiaan pemilihan.
Namun, seiring waktu, proses ini berkembang dan menjadi cara resmi menyampaikan hasil konklaf kepada publik.
Meski dunia kini sudah dilengkapi teknologi canggih, Gereja Katolik tetap mempertahankan tradisi ini.
Tradisi asap bukan sekadar bentuk komunikasi visual, tetapi juga bagian dari spiritualitas dan simbol harapan bagi umat Katolik.
Pada konklaf 2025, seperti halnya konklaf sebelumnya, ribuan orang akan memadati Lapangan Santo Petrus. Mereka akan menatap langit Vatikan, menunggu isyarat penting dari cerobong tua Kapel Sistina.
Ketika asap putih akhirnya mengepul, dunia akan bersorak, dan umat Katolik menyambut pemimpin baru dengan doa dan harapan.
Penutup
Konklaf bukan hanya soal memilih seorang pemimpin Gereja. Ia adalah refleksi dari perjalanan rohani, pergumulan, dan konsensus para kardinal dari seluruh dunia.
Dalam konteks ini, asap hitam dan putih bukan sekadar warna, melainkan bahasa iman yang merangkul jutaan hati di seluruh dunia.
Tradisi asap konklaf telah membuktikan bahwa pesan bisa sampai jauh melampaui batas negara, bahasa, dan budaya.
Ia menyatukan umat Katolik dalam satu detik sakral: saat dunia mendengar bahwa seorang Paus telah terpilih untuk memimpin Gereja menuju masa depan.***