Ini adalah cerita tentang seorang gadis dari Dhaka, Bangladesh. Namanya Shainima Islam, lahir tahun 1997. Dia sudah dua kali menjalani Ramadan di Purwokerto di masa pandemi. Pertama saat Ramadan tahun lalu dan kedua Ramadan tahun ini. Begini sekelumit ceritanya.
Saat dilihat pertama kali, maka akan diketahui bahwa gadis ini bukan orang Indonesia. Ciri fisiknya, menandakan bahwa dia berasal dari anak benua India.
Alisnya tebal, kulit sawo matang, sorot matanya sayu, rambut panjang lurus sampai melebihi pinggang. Satu kesempatan dia bercerita pernah ditawari untuk jadi bintang iklan shampo di negaranya. Tapi dia menolak.
Satu kesempatan lain, dia juga pernah mengungkapkan, mahir membuat henna. Apa itu henna? Itu lho lukisan atau coretan artistik di tangan yang biasa digunakan pengantin wanita di India.
Di sebuah rumah makan di Purwokerto, Sabtu (24/4/2021) petang, dia bercerita pada serayunews, tentang kesan di tanah rantau. Tanah yang jauhnya 5.734,3 Km dari rumahnya di Dhaka, Bangladesh.
“Tentu selama di Purwokerto aku sendirian. Jauh dari keluarga. Kadang ingat keluarga dan membuatku sedih. Tapi aku tak pernah sampai menangis,” kata mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Purwokerto ini.
Shai, begitu biasa disapa, memang agak terkendala dengan bahasa. Sebab, dia lebih fasih berbahasa Inggris, Bengali, dan juga Hindi. Aktivitas masa pandemi yang terbatas juga ikut berpengaruh pada perbendaharaan kata bahasa Indonesianya. Saat berbincang pun dia lebih banyak menggunakan bahasa Inggris.
“Kalau bahasa Indonesia sedikit-sedikit,” kata penggemar film Bollywood ini.
Soal aktivitas Ramadan, seperti muslim pada umumnya, dia juga menjalankan ibadah puasa. Ini adalah Ramadan kedua Shai ada di Purwokerto. Tidak beruntungnya, dia ada di Puwokerto di masa pandemi Covid-19. Seperti diketahui, di masa pandemi, apalagi tahun lalu, banyak pembatasan aktivitas sosial dilakukan. Suasana pembatasan itulah yang membuatnya merasa berbeda.
“Aku sering tak bisa berbuka puasa bersama teman-teman. Jadi lebih sering berbuka puasa sendirian,” ujarnya agak sedih.
Jika berbuka puasa sendirian di kost, dia juga lebih sering teringat bagaimana berbuka puasa bersama keluarganya di Dhaka, Bangladesh.
“Ya, tentu bayangan tentang lingkungan keluarga menyelinap begitu saja,” ujarnya agak menahan kata.
Aktivitas salat pun lebih sering dia lakukan di kost. Dia menjalani tarawih sendirian di kost. Masa pandemi yang membuat gerak manusia tak seperti pada umumnya. Harus menjauhi kerumunan.
Tapi, Ramadan di masa pandemi di Purwokerto tak selalu memberi kesan sunyi. Shai berbagi cerita soal santapan untuk berbuka. Ternyata ada kesan tersendiri darinya. Shai mengaku suka minuman dari buah-buahan.
“Di Bangladesh ada juga minuman, tapi jenisnya tak sebanyak di sini (di Purwokerto). Saya suka minuman dari olahan buah-buahan,” katanya.
Kalau makanan? Ternyata Shai suka sambal, sesuatu yang jarang dia temui di Bangladesh. Dia mengaku suka sambal hijau.
“Aku tak pernah punya masalah usai menyantap sambal. Tak pernah merasa sakit perut,” ujarnya.
Suasana Ramadan masa pandemi di negeri orang membuatnya merasakan pengalaman yang sangat berbeda. Di masa sebelum pandemi, dia menjalankan Ramadan di negara sendiri. Shai mengungkapkan di tanah kelahirannya, Ramadan identik dengan keramaian. Dia menyebutnya dengan festival.
“Kau tahu sendiri, orang di Bangladesh dan India, identik dengan festival. Jika ada momen, maka ada festival. Kala Ramadan rumah dihias dengan indah beserta lampu hiasnya. Ramai suasananya. Masyarakat menyambut dengan segala kegiatan yang ramai,” katanya.
Semarak itulah yang dia rindukan. Hanya saja memang, di masa pandemi suasana di Dhaka agak berbeda. Dari informasi yang dia dapatkan, sebagian masyarakat memilih untuk tak membuat keramaian.
Cerita Shai adalah cerita tentang perjuangan. Gadis dari negara yang nun jauh di sana, menuntut ilmu sendirian di Purwokerto. Hanya karena ilmulah dia mau berkorban banyak hal. Termasuk merasakan segala keterbatasan di masa pandemi. Shai bisa jadi inspirasi bahwa perjuangan itu memang berat.
Cerita tentang Shai menjelaskan bahwa perjuangan pun harus memendam rasa “rindu rumah” atau “homesick” atau kalau bahasa Banyumas, “biyungen”. Selamat berjuang buat Shai dan semua para pencari ilmu nun jauh dari tanah kelahirannya di masa serba terbatas karena pandemi ini.