SERAYUNEWS- Belakangan ini, publik ramai dengan wacana penerapan skema co-payment dalam sistem asuransi kesehatan nasional.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut kebijakan ini sebagai strategi untuk menekan moral hazard dan menstabilkan biaya layanan kesehatan.
Namun, apakah co-payment benar-benar memberi manfaat merata? Atau justru memberatkan peserta?
Mari kita telaah dari perspektif ekonomi umum dan ekonomi bisnis Islam.
Dosen dan Ekonom Syariah di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menyebut, Co-Payment adalah sistem pembagian biaya layanan kesehatan antara peserta asuransi dan penyedia layanan.
Peserta tetap membayar sebagian kecil dari biaya pengobatan, meskipun telah rutin membayar premi.
Contohnya, peserta membayar Rp20.000 setiap kali berkunjung ke fasilitas kesehatan, atau 10 persen dari biaya total tindakan medis tertentu.
OJK menilai skema ini bisa mencegah penggunaan layanan medis berlebihan. Selama ini, banyak peserta menggunakan layanan kesehatan secara “bebas” karena merasa semua biaya ditanggung penuh oleh asuransi.
Menurut Dr Muhammad Ash-Shiddiqy, fenomena ini dikenal sebagai moral hazard, ketika individu bersikap lebih ceroboh karena merasa terlindungi.
Dari sisi perusahaan asuransi, co-payment adalah kabar baik. Skema ini mampu mengurangi klaim kecil dan menekan biaya operasional. Dalam jangka panjang, stabilitas finansial perusahaan bisa terjaga.
Namun bagi peserta, terutama penderita penyakit kronis atau kelompok berpenghasilan rendah, co-payment dapat menjadi beban tambahan.
Mereka merasa sudah membayar premi, namun masih harus menanggung biaya tambahan saat berobat. Tak heran, kebijakan ini mendapat sorotan kritis dari masyarakat.
Secara teoritis, menurut Dr Muhammad Ash-Shiddiqy, co-payment mendorong efisiensi dalam penggunaan layanan kesehatan. Peserta lebih selektif dan tidak sembarangan berobat.
Namun, risiko eksklusi ekonomi mengintai. Kelompok rentan bisa saja menghindari pengobatan karena takut tidak mampu membayar biaya tambahan.
Dari perspektif keadilan ekonomi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip equity, yakni keadilan dalam distribusi pelayanan publik.
Dalam pandangan ekonomi Islam, kesehatan termasuk dalam maqashid syariah lima tujuan utama syariat Islam.
Salah satunya adalah hifzh al-nafs (menjaga jiwa). Maka, sistem asuransi, termasuk co-payment, harus mendukung perlindungan jiwa, bukan justru memberatkannya.
Dr Muhammad Ash-Shiddiqy menyebutkan, ada dua poin penting yang perlu digarisbawahi dalam implementasi co-payment dari perspektif syariah:
1. Kejelasan Akad Asuransi
Asuransi konvensional umumnya memakai akad tabaduli (jual beli risiko), yang dikritik karena mengandung unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (judi).
Dalam ekonomi Islam, yang digunakan adalah sistem takaful, berbasis tolong-menolong antar peserta dengan dana tabarru’.
Jika co-payment diterapkan dalam takaful, maka akadnya harus transparan dan tidak menyalahi prinsip syariah. Dana tabarru’ tidak boleh digunakan untuk kepentingan profit, melainkan murni untuk menolong sesama.
2. Keadilan dan Kemanfaatan Umum (Maslahah)
Islam menekankan pentingnya keadilan sosial. Jika kebijakan ini membuat masyarakat miskin enggan berobat karena takut biaya tambahan, maka co-payment justru bertentangan dengan maslahah dan prinsip laa dharara wa laa dhiraar (tidak membahayakan atau saling merugikan).
Apakah co-payment bisa diterapkan secara adil dan sesuai prinsip syariah? Jawabannya: bisa, dengan beberapa syarat penting:
1. Bebas Biaya untuk Kelompok Rentan
Masyarakat miskin, lansia, dan penderita penyakit kronis harus dibebaskan dari co-payment atau disubsidi penuh.
2. Edukasi dan Literasi Keuangan Syariah
Masyarakat perlu memahami bahwa premi bukan jaminan “semua gratis”, tapi bentuk solidaritas dalam sistem takaful.
3. Peran Strategis Zakat dan Wakaf
Dana zakat bisa membantu menutupi biaya co-payment kelompok dhuafa. Wakaf produktif bahkan bisa digunakan untuk mendirikan rumah sakit syariah tanpa pungutan biaya.
4. Audit dan Transparansi Perusahaan Takaful
Perusahaan asuransi syariah harus benar-benar menjalankan akad syariah secara sahih dan tidak sekadar mengganti label dari “asuransi” ke “takaful”.
Co-payment bukan konsep yang salah. Ia bisa menjadi alat kontrol dan efisiensi. Namun, jika diterapkan tanpa pertimbangan keadilan, kebijakan ini bisa menjadi alat eksklusi sosial yang membahayakan.
Dalam ekonomi Islam, sistem apapun harus menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Mereka bukan sekadar angka statistik, tapi makhluk yang memiliki hak untuk dimuliakan dan dilindungi.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ”
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Sudah saatnya Indonesia membangun sistem asuransi yang bukan hanya efisien, tapi juga adil dan berkeadaban.
Sistem yang tak sekadar menjaga neraca keuangan, tapi juga melindungi nyawa dan martabat manusia.