SERAYUNEWS – Festival musik Pestapora 2025 yang biasanya identik dengan keriangan mendadak berubah menjadi perbincangan serius. Apa saja daftar band yang mundur dari festival musik tersebut?
Pasalnya, sejumlah band memilih mundur dari panggung setelah mengetahui ada keterlibatan sponsor PT Freeport Indonesia pada hari pertama penyelenggaraan, Jumat, 5 September 2025.
Keputusan berani para musisi ini menimbulkan kehebohan di media sosial dan komunitas musik.
Sontak, penyelenggara harus bergerak cepat menanggapi situasi yang kian ramai dibicarakan publik.
Kontroversi bermula ketika pada hari pertama festival muncul parade dari pihak Freeport dengan spanduk bertuliskan “Tembaga Ikutan Berpestapora” yang diiringi marching band.
Kehadiran sponsor ini dianggap mengganggu semangat festival, apalagi mengingat reputasi Freeport yang kerap menuai kritik terkait isu lingkungan dan sosial di Papua.
Bagi sejumlah band, keputusan mundur bukan sekadar aksi spontan, melainkan sikap solidaritas.
Mereka merasa kehadiran sponsor tersebut tidak sejalan dengan nilai yang ingin mereka bawa di panggung.
Gelombang mundur yang melibatkan banyak band akhirnya membuat pihak penyelenggara mengambil langkah drastis.
Pada Sabtu, 6 September 2025, Pestapora mengumumkan secara resmi telah memutus kerja sama dengan PT Freeport Indonesia.
Dalam pernyataannya, mereka menegaskan bahwa mulai hari kedua hingga penutupan, festival tidak lagi memiliki keterikatan dengan perusahaan tambang tersebut.
Keputusan ini diambil demi menjaga kepercayaan publik dan mengembalikan semangat asli festival sebagai ruang bebas berekspresi tanpa konflik kepentingan.
Sampai artikel ini rilis, berikut beberapa band yang secara terbuka mengumumkan bahwa mereka batal tampil:
Menariknya, Rebellion Rose memilih jalan tengah. Mereka tidak membatalkan kehadiran sepenuhnya, melainkan menggunakan panggung untuk berbicara kepada penonton.
Orasi yang mereka sampaikan bertujuan menumbuhkan kesadaran kolektif mengenai alasan mereka menolak tampil di bawah sponsor tertentu.
Setelah itu, mereka mengembalikan seluruh honor dan biaya transportasi kepada penyelenggara.
Sebagai gantinya, mereka menghampiri penonton, menyanyi bersama secara akustik, dan berinteraksi lebih dekat dengan penggemar.
Sikap ini menuai banyak apresiasi karena dinilai tetap menghormati penonton yang sudah membeli tiket.
Bagi penonton, kabar ini memunculkan perasaan campur aduk.
Ada yang kecewa karena band favorit mereka batal tampil, namun ada juga yang bangga karena para musisi menunjukkan integritas.
Festival musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga wadah solidaritas dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu.
Di sisi lain, keputusan penyelenggara memutus hubungan dengan sponsor besar menunjukkan bahwa aspek nilai dan kepercayaan publik lebih penting daripada sekadar dukungan finansial.
Langkah ini dinilai cukup berani, mengingat biaya penyelenggaraan festival musik raksasa biasanya sangat tinggi.***