SERAYUNEWS- Di balik toga hitam yang ia kenakan pada 10 September 2025 lalu, tersimpan kisah perjuangan panjang seorang gadis muda asal Bekasi. Namanya Hafizhah Almas Shabrina Putri, atau akrab disapa Almas.
Di hadapan ribuan orang di Gedung Graha Widyatama Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), ia resmi menyandang gelar Sarjana Sastra (S.S.) dengan IPK 3,85 predikat cumlaude.
Namun, angka di atas kertas hanyalah sebagian kecil dari perjalanan penuh makna yang telah ia lalui.
Sejak kecil, Almas jatuh cinta pada bahasa asing. Ia kerap menghabiskan waktu dengan buku-buku bahasa, hingga akhirnya memantapkan hati untuk memilih Sastra Jepang sebagai jalan hidupnya.
“Mimpi saya adalah menjadi penerjemah profesional, penghubung antara dua budaya yang berbeda. Saya ingin orang-orang dari latar belakang berbeda bisa saling memahami,” ucapnya lirih, mengingat alasan utamanya kuliah di Sastra Jepang.
Tidak semua perjalanan berjalan mulus. Di awal kuliah, Almas sempat merasa kewalahan. Ada saat-saat di mana ia ingin menyerah. Tetapi, dukungan keluarga dan teman-teman membuatnya kembali berdiri tegak.
Semester pertama menjadi titik balik. Saat ia berhasil meraih IPK memuaskan, keyakinan dalam dirinya mulai tumbuh. Dari sanalah Almas berjanji pada diri sendiri untuk terus melangkah maju.
Kesempatan emas datang ketika ia duduk di semester tiga. Almas mendaftar program pertukaran pelajar ke Ibaraki University, Jepang. Prosesnya tidak mudah—mulai dari pengurusan dokumen hingga menunggu keluarnya Certificate of Eligibility (COE).
“Masa itu penuh kecemasan. COE menjadi penentu apakah saya bisa masuk ke Jepang atau tidak,” kenangnya dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 16 September 2025.
Setelah penantian panjang, COE keluar pada Maret 2023. Sebulan kemudian, Almas akhirnya menjejakkan kaki di Jepang, negeri yang sejak lama hanya hadir dalam buku dan layar kaca.
Di Jepang, Almas belajar bukan hanya dari kelas. Ia merasakan dinginnya musim dingin, menyaksikan mekarnya bunga sakura, sekaligus berjuang beradaptasi dengan budaya yang berbeda.
Ia memperluas pertemanan dengan mahasiswa dari berbagai negara, hingga berkesempatan membuka stan budaya Indonesia dalam festival musim panas di kampus.
Tak berhenti di sana, Almas juga bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Interaksi langsung dengan masyarakat Jepang membuat kemampuan bahasanya semakin terasah, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih besar.
Pengalaman di Jepang mengajarkan banyak hal pada Almas. Ia belajar tentang kemandirian, keteguhan hati, hingga arti keberanian untuk keluar dari zona nyaman.
“Pengalaman ini membuat saya lebih dewasa dan percaya diri. Saya semakin yakin dengan cita-cita saya menjadi penerjemah profesional,” ungkapnya penuh keyakinan.
Ia pun berpesan kepada generasi muda agar tidak takut mencoba.
“Kesempatan tidak datang dua kali. Manfaatkan setiap peluang yang ada. Semua usaha hari ini akan menjadi pijakan kuat untuk masa depan. Ganbatte kudasai!” tuturnya menutup kisah.
Di balik semua pencapaian itu, ada peran besar keluarga. Bagi Almas, keluarganya adalah “kapal besar” tempat ia selalu berlabuh, menerima semangat dan dukungan tanpa syarat.
Dari Bekasi menuju Purwokerto, lalu terbang hingga ke Negeri Sakura, perjalanan Almas menjadi bukti bahwa mimpi besar bisa terwujud dengan tekad, kerja keras, dan dukungan orang-orang tercinta.