
SERAYUNEWS – Perjalanan panjang Akhmad Shobirin membangun ekosistem gula aren di Desa Semedo, Kecamatan Pekuncen, Banyumas, kini berbuah manis.
Dari pekerjaan penderes yang dulu dianggap profesi terpinggirkan, kini produk gula aren “Semedo Manise” menembus pasar global hingga 100 ton per bulan.
Di desa kecil di lereng gunung itu, ratusan penderes menggantungkan penghasilan pada nira aren. Risiko tinggi, pendapatan rendah, dan minimnya jaminan keselamatan membuat pekerjaan ini identik dengan profesi “kepepet”.
Shobirin (38), lulusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, tumbuh di lingkungan penderes. Kakak iparnya bahkan sudah jatuh 3–4 kali dari pohon aren. Kondisi itu membuatnya terpanggil.
“Setiap pulang dari kost, selalu ada kabar penderes jatuh. Harga gula rendah, pendidikan mentok SMP, hidup sehari-hari hanya untuk makan besok,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
“Dari situ saya berpikir harus ada jalan supaya mereka bisa hidup lebih layak,” imbuhnya.
Tahun 2011, Shobirin mengusulkan program pemberdayaan gula aren ke Kemenpora, namun ditolak. Ia pulang kampung pada 2012 dan memulai dari kelompok kecil: Kelompok Tani Magar Jaya dengan 25 anggota.
Ia memperkenalkan standar kualitas, pelatihan, dan kesadaran produksi higienis. Dukungan mulai berdatangan—pelatihan dan peralatan dari pemda (2013–2014), lalu pembentukan kelompok kedua Mugi Lestari (2015).
Perjalanan berlanjut hingga 2018, ketika dukungan perusahaan swasta memperkuat modal dan fasilitas.
Konsolidasi 20 kelompok tani akhirnya melahirkan Koperasi Produsen Semedo Manise, dengan sekitar 1.000 anggota di Pekuncen, Gumelar, Purwojati, hingga Kedungbanteng.
“Intinya, petani harus jadi subjek, bukan objek,” tegas Shobirin.
Pasar ekspor mulai dirintis 2021. Awalnya mereka hanya menjadi subkontraktor eksportir, namun pada 2022 koperasi berhasil mengekspor mandiri.
Kini kapasitas ekspor mencapai 100 ton per bulan, ke Amerika, Eropa, hingga Asia. Sebanyak 95 persen produksi ditujukan untuk pasar global.
Namun untuk bisa ekspor, jalannya panjang. Sertifikasi Eropa (EU Standard) menjadi syarat utama—dan hanya bisa dimiliki koperasi, bukan perusahaan biasa.
“Biaya sertifikasinya bisa sampai Rp200 juta. Sertifikasi halal sama, sekitar itu. Belum lagi pajak, gaji karyawan, peralatan. Omzet besar belum tentu untungnya besar,” katanya.
Harga pembelian dari petani juga yang tertinggi di daerah: Rp24 ribu per kilogram.
“Kalau kualitas bagus, dapur mereka kami bantu dengan reward, misalnya wajan seharga satu jutaan,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 membuat ekspor berhenti total. Shobirin menjual kendaraan pribadi dan menanggung utang hingga Rp1,5 miliar.
“Itu titik terberat. Tapi kami bangkit lagi,” katanya.
Kebangkitan itu didorong dukungan berbagai pihak, terutama Bank Indonesia.
“BI Purwokerto sangat terasa bantuannya, dari pendampingan perluasan akses keuangan, pembangunan fasilitas produksi, hingga pameran dan business matching,” ujarnya.
Meski permintaan tinggi, jumlah penderes terus menurun. Dalam dua tahun terakhir, jumlah petani berkurang 10–20 orang karena usia lanjut dan kecelakaan.
“Kalau pertanian tidak dikelola dengan manajemen baik dan teknologi, tidak akan menarik buat anak muda,” katanya.
Ia berharap ada jaminan sosial, teknologi panen, dan pendapatan stabil agar generasi muda mau terjun.
Di awal, kelompok tani masih terbiasa dengan pola “kelompok dibuat untuk menurunkan bantuan”. Banyak kelompok bubar setelah dana cair.
Shobirin mengubah pendekatan lewat:
Setelah melihat hasilnya, para petani mulai berlomba menjaga kualitas.
Desa Semedo sebelumnya dikenal sebagai kampung penderes. Banyak warganya minder dengan identitas tersebut.
“Saya ingin orang Semedo bangga. Bahwa dari desa inilah kualitas gula terbaik bisa lahir dan menembus Eropa,” katanya.
Meski ekspor besar, bagi Shobirin yang utama adalah transformasi sosial.
“Koperasi ini bukan hanya soal gula, tapi soal martabat,” ujarnya.
Dengan dukungan petani, lembaga keuangan, dan jejaring global, Semedo Manise kini menjadi bukti bahwa desa pun bisa menembus pasar dunia tanpa kehilangan akar budaya.
“Target kami bukan sekadar ekspor besar, tapi petani yang sejahtera dan bangga menjadi bagian dari Semedo,” pungkasnya.