SERAYUNEWS – Nama Delpedro Marhaen Rismansyah dalam beberapa hari terakhir ramai dibicarakan. Ia ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka dugaan penghasutan dalam aksi demonstrasi di Jakarta.
Sebagai informasi, ia bukan artis, bukan pula politisi, tetapi seorang aktivis yang sejak lama berkecimpung di dunia advokasi hak asasi manusia.
Posisinya sebagai Direktur Eksekutif Lokataru Foundation membuatnya dikenal di lingkaran pegiat demokrasi.
Pertanyaan yang banyak muncul di jagat maya adalah: “Delpedro mahasiswa mana?”
Jawabannya, ia bukan sekadar aktivis, tetapi juga masih berstatus mahasiswa pascasarjana.
Delpedro menempuh program magister di dua kampus sekaligus, yaitu Universitas Tarumanagara untuk Magister Hukum, dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta untuk Magister Ilmu Politik.
Sebelumnya, ia menyelesaikan studi sarjana di bidang hukum, juga di Universitas Tarumanagara.
Kombinasi akademik dan aktivisme ini menjadikan Delpedro sosok yang tidak hanya vokal di lapangan, tetapi juga mendalami aspek teori dan hukum yang menjadi fondasi gerakannya.
Bagi kalangan pegiat HAM, nama Delpedro bukanlah pendatang baru.
Sebelum memimpin Lokataru, ia aktif sebagai asisten program di KontraS dan peneliti di kantor hukum Haris Azhar.
Ia juga pernah terlibat di media independen BandungBergerak.id sebagai koresponden.
Pengalamannya di berbagai lembaga itu membuat Delpedro terbiasa menghadapi isu-isu pelik: mulai dari kasus kekerasan aparat, kebebasan sipil, hingga perlindungan kelompok rentan.
Tak hanya itu, ia kerap menulis opini yang mengangkat persoalan lintas batas, seperti nasib anak-anak tanpa kewarganegaraan di Sabah, Malaysia.
Tulisan itu menunjukkan kepedulian yang melampaui sekadar isu domestik.
Pada Senin malam, 1 September 2025, sekitar pukul 22.45 WIB, Delpedro dijemput aparat kepolisian di sekretariat Lokataru Foundation.
Informasi yang beredar menyebutkan, penjemputan dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah resmi.
Lokataru menilai tindakan itu sebagai bentuk “penjemputan paksa” yang mengingatkan pada praktik represif masa lalu.
Penangkapan di malam hari selalu memantik kontroversi, apalagi jika menyasar tokoh publik yang dikenal kritis.
Wajar jika kabar itu langsung viral, memicu perdebatan di media sosial dan menjadi headline di banyak media.
Tidak lama setelah penjemputan, Polda Metro Jaya mengumumkan status Delpedro sebagai tersangka.
Polisi menyebut, penetapan tersangka dilakukan setelah penyelidikan sejak 25 Agustus lalu.
Tuduhannya adalah menghasut massa hingga berujung kerusuhan dalam demonstrasi menolak sejumlah kebijakan pemerintah.
Polisi juga menuding ada keterlibatan Delpedro dalam mendorong pelajar, termasuk anak di bawah umur, untuk turun ke jalan.
Tak hanya itu, unggahan provokatif di media sosial juga disebut sebagai bagian dari bukti.
Bagi aparat, tindakan itu sudah cukup untuk menjeratnya dengan pasal penghasutan.
Namun, bagi aktivis sipil, penetapan ini justru dilihat sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara kritis.
Kasus Delpedro memperlihatkan benturan dua narasi besar.
Di satu sisi, polisi menegaskan bahwa hukum berlaku bagi siapa saja, termasuk aktivis. Penetapan tersangka dianggap hasil penyelidikan sahih.
Di sisi lain, Lokataru Foundation menilai langkah aparat sebagai kriminalisasi.
Mereka menegaskan Delpedro hanyalah warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyuarakan pendapat.
Penangkapan di malam hari, tanpa prosedur jelas, dipandang sebagai upaya membungkam kritik publik.
Seruan “Bebaskan Delpedro!” pun menggema di media sosial, memperlihatkan adanya gelombang solidaritas dari kalangan aktivis dan mahasiswa.
Delpedro sebenarnya sudah pernah mengalami pengalaman serupa.
Pada Agustus 2024, ia dikabarkan ditangkap dan mengalami kekerasan aparat saat demonstrasi menolak RUU Pilkada di depan DPR RI.
Insiden itu mempertegas reputasinya sebagai aktivis garis depan yang tak gentar menghadapi risiko.
Kini, setahun berselang, ia kembali harus berhadapan dengan proses hukum yang jauh lebih serius.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah kasus ini murni penegakan hukum, atau justru bagian dari pola lama membatasi ruang demokrasi?
Kisah Delpedro Marhaen adalah cermin dari kondisi demokrasi Indonesia hari ini.
Aktivis muda, mahasiswa pascasarjana, sekaligus direktur sebuah lembaga HAM bisa tiba-tiba berstatus tersangka hanya karena suaranya dianggap mengganggu stabilitas.
Apakah negara sedang melindungi ketertiban, atau justru mengekang kebebasan? Publik berhak menilai.
Sehingga, kasus ini menambah daftar panjang perdebatan soal hubungan antara gerakan sipil, aparat keamanan, dan masa depan demokrasi di negeri ini.***