SERAYUNEWS – Memanasnya konflik antara Iran dan Israel dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan global. Rentetan aksi militer yang saling membalas antara kedua negara itu membuka lembaran baru dalam ketegangan kawasan Timur Tengah, sekaligus memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat sipil, termasuk di Indonesia.
Pada tanggal 13 Juni 2025, Israel meluncurkan serangan udara besar-besaran melalui operasi militer yang dikenal dengan nama Operation Rising Lion.
Target utama dari serangan ini adalah fasilitas nuklir milik Iran serta melemahkan kekuasaan politik Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei.
Namun, hanya beberapa hari kemudian, tepatnya pada 19 Juni 2025, Iran melayangkan balasan dengan menembakkan rudal balistik ke sejumlah wilayah di Israel dan berhasil menghancurkan sejumlah gedung penting.
Aksi balasan Iran dinilai mengejutkan dan menunjukkan kekuatan militer yang tak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Dalam forum Diskusi Reboan yang digelar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) pada Rabu malam (2 Juli 2025), para narasumber menyoroti dampak serangan tersebut dari berbagai aspek, mulai dari geopolitik hingga perubahan sikap dunia Islam.
Irfan Maulana, seorang jurnalis senior sekaligus pengamat Timur Tengah, menyampaikan bahwa balasan Iran tidak hanya berhasil secara taktis, tetapi juga secara strategis menunjukkan kegagalan Israel.
“Iran menang 2-0 terhadap Israel, ini bukan hanya soal kerusakan dan jumlah korban, tetapi dilihat dari tujuan Israel menyerang Iran merusak fasilitas nuklir Iran ternyata tidak tepat sasaran malah Iran berhasil mengirimkan rudalnya ke Israel. Kedua, tujuan Israel untuk mendongkel pemerintahan Khamenei agar digantikan keluarga Pahlavi yang pro Israel juga tidak tercapai,” papar Irfan dalam diskusi tersebut.
Pernyataan Irfan menggambarkan bagaimana serangan balasan Iran mampu membalik keadaan. Tidak hanya mempertahankan diri, Iran justru mempermalukan Israel di mata dunia internasional, terutama karena dua target utama operasi Israel sama sekali tidak tercapai.
Sementara itu, Najib Azca, seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut menjadi titik balik dalam konstelasi politik Timur Tengah. Ia menyoroti perubahan sikap dunia Islam yang kini semakin menunjukkan ketegasan dalam bersikap.
“Dunia Islam sudah lebih desisif mengambil posisi terutama pasca penyerangan Iran ke Israel. Ancaman utama Israel hari ini adalah Iran yang punya program nuklir. Di sisi lain bahwa dukungan Amerika Serikat terhadap Israel sudah semakin tergerus oleh pendukung Donal Trump dari sayap MAGA (baca: Make America Great Again),” ungkap Najib.
Sikap serupa juga ditegaskan oleh Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid. Dalam diskusi tersebut, ia mengkritik keras ambiguitas Barat terhadap konflik yang terjadi.
“Dunia Islam tidak ambigu dalam menyikapin perang Iran Israel. Sikap besar dari negara-negara Islam sangat amat jelas berpihak pada Iran yang diserang Israel. MBS berkali-kali menyampaikan bersama dengan Iran. Justru ambiguitas datang dari Barat terhadap isu Iran Israel dan Palestina, pihak Barat tidak pernah mempermasalahkan tentang kejahatan dan genosida yang dilakukan Israel, tetapi dua penyanyi di Inggris hanya karena menyanyikan lagu tentang bom – bom Israel kemudian diinterogasi, ini bentuk ambiguitas mereka,” pungkasnya.
Diskusi ini juga menjadi sarana KB PII untuk menyerukan persatuan umat Islam di Indonesia. Mereka mendorong masyarakat agar bersikap tegas dalam mendukung Iran sebagai pihak yang diserang dan berdiri bersama perjuangan kemerdekaan Palestina. KB PII juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjauhi narasi-narasi sektarian dan menolak bentuk penjajahan dalam bentuk apa pun.
Melalui forum intelektual rutin seperti Diskusi Reboan, KB PII tidak hanya membahas isu-isu aktual keumatan dan kebangsaan, tetapi juga meneguhkan komitmen untuk terus melawan dominasi dan ketidakadilan global.
Salah satunya dengan mengajak masyarakat melakukan boikot terhadap produk-produk yang mendukung kepentingan Israel.
Kehadiran forum seperti ini menjadi penting untuk memperkuat kesadaran kolektif dan solidaritas terhadap perjuangan keadilan di Timur Tengah, khususnya dalam menghadapi agresi militer yang tidak hanya berdampak regional, tetapi juga global.***