SERAYUNEWS- Di era serba digital ini, hampir semua orang punya akses ke smartphone dan media sosial. Setiap hari, kita disuguhi ribuan konten yang bisa diakses dalam hitungan detik.
Namun, alih-alih berhenti setelah menemukan sesuatu yang menarik atau menyenangkan, sering kali kita terus menggulir layar tanpa henti. Meskipun, yang kita lihat adalah berita buruk, komentar negatif, atau peristiwa yang meresahkan.
Fenomena ini dikenal dengan istilah doomscrolling.
Secara sederhana, doomscrolling adalah kebiasaan terus-menerus menggulir layar, membaca atau melihat konten negatif, meski hal tersebut berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Fenomena ini menjadi semakin umum, terutama selama pandemi COVID-19, ketika berita negatif seperti angka kematian, krisis ekonomi, dan isu sosial membanjiri internet.
Meskipun mengetahui bahwa berita-berita tersebut membuat kita cemas, kita sering kali sulit berhenti.
Ada semacam dorongan kuat untuk terus menggulir, mencari lebih banyak informasi, seolah-olah kita tidak mau ketinggalan update terbaru, meski itu membuat kita semakin stres.
Salah satu alasan utama kenapa kita terjebak dalam doomscrolling adalah FOMO, atau Fear of Missing Out.
Kita merasa perlu selalu update dengan informasi terbaru, terutama jika berhubungan dengan situasi krisis, bencana, atau masalah sosial.
Keinginan untuk tahu apa yang sedang terjadi bisa membuat kita sulit melepaskan diri dari arus berita negatif.
Konten negatif atau berita buruk cenderung lebih menarik perhatian dibandingkan kabar baik.
Hal ini terjadi karena otak manusia secara alami bereaksi lebih kuat terhadap informasi yang berpotensi membahayakan.
Dalam konteks evolusi, ini adalah mekanisme bertahan hidup dengan fokus pada ancaman, kita lebih siap menghadapi bahaya. Namun, di dunia modern, mekanisme ini bisa menjadi bumerang.
Platform seperti Twitter, Instagram, atau TikTok menggunakan algoritma yang didesain untuk mempertahankan perhatian pengguna.
Konten yang memicu emosi, baik itu kemarahan, ketakutan, atau kesedihan, cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi.
Akibatnya, kita sering kali diarahkan pada berita negatif, karena algoritma tahu bahwa jenis konten ini akan membuat kita bertahan lebih lama di platform.
Kebiasaan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Terlalu banyak konsumsi konten negatif dapat memengaruhi suasana hati, meningkatkan kecemasan, stres, bahkan menyebabkan depresi.
Banyak orang yang merasa tidak produktif setelah menghabiskan waktu berjam-jam menggulir berita yang membuat cemas, namun mereka tetap mengulanginya keesokan harinya.
Lebih parahnya lagi, doomscrolling juga dapat mengganggu kualitas tidur. Paparan layar ponsel, terutama menjelang tidur, mengurangi produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur.
Ditambah dengan beban mental akibat konsumsi konten negatif, tidur kita bisa menjadi tidak nyenyak.
Salah satu cara efektif untuk mengurangi doom scrolling adalah dengan menetapkan batas waktu penggunaan media sosial.
Ada banyak aplikasi yang bisa membantu melacak dan mengingatkan kita ketika sudah menggunakan smartphone terlalu lama.
Mulai selektif dengan konten yang kita konsumsi. Cari akun atau sumber berita yang memberikan informasi berimbang, tidak hanya fokus pada sisi negatif.
Selain itu, mengikuti akun yang menyebarkan konten inspiratif atau edukatif bisa membantu meningkatkan mood.
Cobalah untuk menjauhkan ponsel dari genggaman setidaknya satu jam sebelum tidur.
Alihkan perhatian dengan membaca buku fisik, mendengarkan musik relaksasi, atau melakukan meditasi.
Teknik mindfulness bisa membantu kita lebih sadar terhadap kebiasaan buruk, termasuk doom scrolling.
Dengan melatih kesadaran diri, kita bisa lebih cepat menyadari ketika sudah terjebak dalam kebiasaan ini dan bisa mengambil tindakan untuk berhenti.
Doomscrolling adalah fenomena yang banyak dari kita alami tanpa disadari. Meskipun kita tahu bahwa terlalu banyak mengonsumsi konten negatif bisa berdampak buruk, kebiasaan ini sulit dihentikan.
Dengan memahami penyebab dan dampaknya, serta menerapkan beberapa strategi sederhana, kita bisa mulai mengontrol kebiasaan ini dan melindungi kesehatan mental dari pengaruh buruk berita negatif.***