
SERAYUNEWS – Status kepemilikan tanah yang kini berdiri bangunan SDN 1 dan Kantor Desa Karangbawang, Kecamatan Ajibarang, bersengketa.
Sayono, keponakan almarhum Haji Romli, yang menjadi ahli waris mengklaim, hingga kini tanah seluas sekitar 1.600 meter persegi itu masih atas nama keluarga mereka.
Menurut Sayono, lahan tempat berdirinya dua bangunan tersebut, dulunya merupakan tanah milik Haji Romli. Kemudian ditukar guling dengan tanah Banda Desa Karangbawang sekitar tahun 1950-an. Namun, hingga kini tidak pernah ada bukti peralihan hak yang sah.
“Tanah itu dulunya milik Haji Romli. Katanya ditukar guling dengan tanah Banda Desa, tapi sampai sekarang tanah Banda Desa masih milik desa. Tidak pernah ada serah terima atau sertifikat atas nama keluarga kami,” kata Sayono.
Sayono mengatakan bahwa keluarganya baru mengetahui permasalahan status tanah tersebut sekitar tahun 1990-an, setelah muncul upaya penerbitan sertifikat oleh pihak lain.
“Waktu itu ada yang mau bikin sertifikat, tapi ditolak karena tanah itu statusnya masih tanah negara dan belum jelas asal-usulnya. Dari situ kami baru tahu kalau ternyata lahan itu belum pernah beralih hak,” kata dia.
Sayono menceritakan, pemilik awal tanah tersebut adalah Haji Romli. Seumur hidupnya, dia tidak memiliki anak. Karena itu, kepemilikan jatuh kepada saudara kandungnya, yakni Haji Atmorejo, yang merupakan ayah dari Sayono.
Namun, di kemudian hari muncul pihak lain yang juga menempati sebagian lahan, yakni saudara tiri dari Atmorejo hasil pernikahan kedua Haji Romli.
Kini, ahli waris meminta kejelasan dari pemerintah terkait status hukum tanah yang digunakan untuk fasilitas pendidikan tersebut.
“Kami berharap ada klarifikasi resmi dari pemerintah desa, kecamatan, hingga Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Kami ingin tahu, dasar hukum apa yang digunakan untuk mendirikan sekolah di atas tanah itu,” kata dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Karangbawang, Kristiono Kustardi, menyatakan bahwa lahan tersebut telah melalui proses tukar guling sejak lama, meski belum disertifikasi secara resmi.
“Sudah tukar guling itu, ada sejarahnya. Jadi sudah ketemu, cuma belum disertifikasi waktu itu,” kata Kristiono, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, pada masa lalu, dokumen kepemilikan tanah belum seformal sekarang. Bukti administratif berupa buku letter C telah ditemukan, yang menurutnya memperkuat klaim bahwa tukar guling memang pernah terjadi.
“Secara prinsip, buku C sudah ditemukan. Artinya kalau memang ada, berarti tukar guling itu memang sudah terjadi,” kata dia.
Persoalan sengketa ini pun sampaikan ke Dinas Pendidikan Banyumas, sebagai bentuk proses klarifikasi. Sampai saat ini masih berlangsung dan belum menghasilkan keputusan final.
“Kan perlu proses, to mas,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Banyumas, Joko Wiyono.
Sementara itu Djoko Susanto SH selaku kuasa hukum keluarga Sayono mengungkapkan, Pihak keluarga berencana melayangkan surat resmi untuk meminta klarifikasi ke instansi terkait.
Mereka membuka kemungkinan penyelesaian secara hukum maupun musyawarah, sepanjang dilakukan secara terbuka dan berkeadilan.
“Kita akan sampaikan surat terlebih dahulu untuk dilakukan klarifikasi dan musyawarah, diharapkan nanti bisa ada titik temu antara kedua belah pihak,” kata Djoko.
Senin (27/10/2025), ahli waris almarhum Watim Al Wiryasengaja atau H. Romli memasang spanduk tuntutan hak kepemilikan tanah seluas 1600 m² pada Senin (27/10/2025). Namun tak berselang lama, komite sekolah langsung mencopot spanduk tersebut.
Spanduk itu bertuliskan tuntutan agar tanah adat rakyat yang kini menjadi lokasi Kantor Desa Karangbawang dan SDN 1 Karangbawang dikembalikan kepada ahli waris yang mengklaim sebagai pemilik sah.
Kuasa hukum ahli waris, H. Djoko Susanto SH menjelaskan, pemasangan spanduk dilakukan sebagai bentuk protes, karena pihak desa maupun sekolah dianggap tidak menunjukkan iktikad baik dalam menempati lahan yang menurut mereka belum berizin.
“Ahli waris memasang spanduk tanpa perlu izin dari kantor desa atau kepala sekolah. Karena mereka pun menduduki tanah itu tanpa izin pemilik sah,” ujar Djoko.
Menurutnya, pencopotan spanduk oleh komite sekolah mencerminkan sikap arogan.
“Sebagai lembaga pendidikan, seharusnya memberi contoh yang baik. Bagaimana anak-anak bisa menghormati hukum jika mereka belajar di atas tanah sengketa yang dikuasai secara tidak benar?” kata dia.