SERAYUNEWS – Hari Raya Idul Fitri identik dengan penyembelihan hewan kurban bagi umat muslim yang mampu. Adapun, untuk hukum melaksanakan ibadah kurban adalah sunnah muakkadah, yaitu sangat dianjurkan.
Selain untuk berbagi kebahagiaan kepada yang membutuhkan, manfaat berkuban yang lainnya yaitu untuk mendapatkan pahala serta ridha Allah SWT.
Namun, bagaimana hukumnya membayarkan kurban bagi orang yang sudah meninggal? Terkait hal ini, ada beberapa perbedaan pendapat.
Dalam kitab Minhaj ath-Thalibin, Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi menyatakan bahwa tidak diperbolehkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal kecuali orang tersebut telah berwasiat sebelum meninggal dunia.
“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321).
Pendapat ini kemudian didukung juga oleh beberapa ulama lainnya. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarah Al-Minhaj, Syamsu Al-Din Muhammad bin Abi Abbas berpandangan bahwa kurban tidak boleh dilakukan untuk orang yang sudah meninggal.
“Dan tidak boleh dan tidak berlaku kurban atas nama mayit jika tidak diwasiatkan.” (Syamsu Al-Din Muhammad bin Abi Abbas, Nihayatul Muhtaj ila Syarah Al-Minhaj).
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa berkurban untuk orang yang sudah berkurban adalah diperbolehkan.
Hal ini dikemukanan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Pasalnya, berkurban di sini dimaknai sebagai sedekah.
Di mana, hukum sedekah bagi orang telah meninggal dunia adalah sah. Selain itu, ibadah tersebut juga bisa memberikan kebaikannya kepada orang yang telah meninggal, serta pahalanya bisa sampai kepadanya.
“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama.” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406).
Meskipun tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab Syafi’i seperti pandangan yang pertama, namun pandangan yang kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Sebagaimana dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji.” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107).***(Wilujeng Nurani)