SERAYUNEWS- Presiden Prabowo Subianto menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Politik pada 2028.
Penetapan dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah.
Namun, istilah ini langsung menuai perdebatan karena dianggap berbeda dengan konsep ibu kota negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang.
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya mengenai perbedaan Ibu Kota Negara dengan Ibu Kota Politik. Kenapa IKN Disebut Jadi Ibu Kota Politik?
Dalam Perpres yang diteken pada 30 Juni 2025, pemerintah menargetkan pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di IKN untuk mendukung status baru tersebut.
Setidaknya ada dua syarat utama agar IKN bisa berfungsi sebagai ibu kota politik:
⦁ Pembangunan kawasan inti seluas 800–850 hektare dengan target 20% gedung pemerintahan rampung dan 50% hunian layak tersedia.
⦁ Pemindahan ASN antara 1.700 hingga 4.100 orang, dengan layanan kota cerdas minimal mencakup 25%.
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah “ibu kota politik” sama dengan ibu kota negara?
Menurut Pakar Hukum Tata Negara UGM, Yance Arizona istilah ini tidak dikenal dalam studi ketatanegaraan. Menurutnya, nomenklatur resmi dalam UU Ibu Kota Negara Nomor 21 Tahun 2023 hanya menyebut pusat pemerintahan, bukan ibu kota politik.
Hal senada disampaikan Dian Puji Simatupang, Pakar Hukum Administrasi Negara. Ia menilai penggunaan istilah tanpa dasar hukum bisa menimbulkan masalah serius, termasuk dugaan penyalahgunaan anggaran.
“Kalau mau pakai istilah ibu kota politik, undang-undangnya harus diubah dulu. Kalau tidak, perpres itu bisa dianggap menyalahi aturan,” ujarnya.
Meski menuai kritik, sebagian pengamat menilai konsep ini tidak sepenuhnya asing. Wasisto Raharjo Jati, peneliti BRIN, membandingkannya dengan beberapa negara:
⦁ Belanda: pusat pemerintahan berada di Den Haag, sementara ibu kota resmi tetap di Amsterdam.
⦁ Malaysia: Putrajaya sebagai pusat pemerintahan, sedangkan ibu kota negara tetap Kuala Lumpur.
⦁ Australia: Canberra diposisikan sebagai pusat pemerintahan, berbeda dengan kota-kota besar lain yang jadi pusat ekonomi.
Wasisto menilai pemerintah harus memberi penjelasan komprehensif agar istilah ini tidak menimbulkan kerancuan politik maupun hukum.
Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menegaskan pemerintah perlu menjelaskan konsekuensi hukum dan politik dari istilah ini.
“Kalau ibu kota politik dimaknai sama dengan ibu kota negara, maka semua lembaga negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus benar-benar pindah ke IKN,” katanya.
Apakah IKN Benar-Benar Siap Jadi Ibu Kota Politik?
Meski Perpres telah mengatur target, banyak pihak meragukan kesiapan IKN dalam tiga tahun ke depan. Persentase pembangunan masih rendah, sarana prasarana belum sepenuhnya tersedia, dan ASN yang siap pindah masih terbatas.
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menegaskan pembangunan tetap berjalan dengan dukungan anggaran tahap dua sebesar Rp48,8 triliun.
Namun, publik masih menunggu kejelasan apakah status “ibu kota politik” benar-benar sejalan dengan UU, atau sekadar istilah kompromi politik untuk melanjutkan megaproyek Nusantara.
Jadi, apakah “ibu kota politik” hanya istilah baru untuk memperhalus transisi IKN, atau benar-benar konsep baru dalam tata negara Indonesia? Jawaban ini akan sangat menentukan masa depan Nusantara sebagai pusat pemerintahan Indonesia.