SERAYUNEWS– Dunia digital Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat. Sejak November 2024 hingga pertengahan 2025, lebih dari 200 ribu kasus penipuan digital tercatat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tercatat, total kerugian kasus penipuan digital mencapai Rp4,1 triliun. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan tingginya intensitas kejahatan siber, tetapi juga memperlihatkan celah besar dalam perlindungan konsumen dan minimnya literasi digital masyarakat.
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, lonjakan kasus scam menunjukkan perlunya pendekatan alternatif berbasis nilai moral dan spiritual dalam menangkal kejahatan digital.
“Masalahnya bukan semata pada regulasi atau teknologi, tapi juga pada hilangnya etika digital. Di sinilah ekonomi syariah punya tawaran solusi menyeluruh,” ujarnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi, mengungkapkan bahwa modus penipuan kini telah menyasar sistem pembayaran digital, marketplace, hingga kripto.
Penjahat siber memanfaatkan akun media sosial palsu, tautan phising, hingga aplikasi tiruan untuk mengelabui masyarakat.
Menurut Dr Ash-Shiddiqy, berdasarkan studi Clara Nervia dkk (2025) mengidentifikasi bahwa phishing menjadi modus paling umum.
Korban diarahkan untuk mengisi data pribadi seperti PIN, OTP, dan kode CVV, lalu tabungannya dikuras habis. Teknik ini sulit dilacak karena pelaku menggunakan domain tiruan dan rekayasa sosial (social engineering).
Meskipun telah diatur dalam UU ITE dan regulasi OJK, penindakan masih lemah. OJK mencatat, dari kerugian Rp 4,1 triliun, hanya 9 persen yang berhasil diselamatkan.
Lemahnya kapasitas pelacakan digital, keterbatasan sumber daya aparat penegak hukum, serta skema penipuan lintas negara membuat upaya hukum kerap tertinggal.
Guna menghadapi tsunami scam digital, OJK dan Kominfo membentuk GASA (Global Anti Scam Alliance) Indonesia Chapter bersama Google, Meta, Shopee, Dana, dan platform digital lainnya.
Tujuannya adalah memperkuat edukasi, pembaruan kebijakan, serta pertukaran data ancaman siber.
Namun menurut Dr Ash-Shiddiqy, inisiatif sebesar apa pun tak akan menyentuh akar persoalan jika nilai moral dan etika tidak ikut dibenahi.
“Scam bukan hanya soal teknologi. Ini juga tentang niat buruk manusia yang memanfaatkan kelemahan sistem. Solusinya tidak cukup hanya dengan AI atau regulasi, tapi juga dengan kesadaran akhlak digital,” tegasnya.
Dalam perspektif ekonomi Islam, praktik seperti phishing dan scam tergolong dalam gharar (ketidakjelasan) dan ghasb (perampasan hak), yang jelas-jelas dilarang dalam syariat.
Islam menekankan bahwa transaksi harus dilakukan atas dasar kerelaan dan kejujuran. “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.”
(HR. Ahmad)
Ekonomi syariah tidak hanya mengatur bentuk transaksi seperti murabahah atau ijarah, tapi juga meletakkan etika dan akhlak sebagai fondasi utama.
Dalam sistem ini, pelaku ekonomi harus memegang teguh prinsip amanah, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan bahwa lembaga keuangan syariah harus mengambil peran aktif dan strategis dalam menghadapi kejahatan digital. Ia mengusulkan beberapa langkah konkrit:
1. Mengembangkan sistem keamanan digital berbasis AI dan multi-factor authentication (MFA);
2. Mengintegrasikan edukasi syariah digital dalam layanan perbankan online;
3. Memastikan fitur layanan tersertifikasi syariah dan diaudit secara etika secara berkala;
4. Bersinergi dengan OJK dan Kominfo untuk memperkuat perlindungan nasabah.
Dengan langkah-langkah tersebut, bank syariah tidak hanya menjadi lembaga bebas riba, tetapi juga pelopor ekosistem keuangan yang beretika, aman, dan bertanggung jawab.
Dr. Ash-Shiddiqy menekankan bahwa perang terhadap scam digital tidak bisa hanya mengandalkan hukum positif.
Pendekatan hukum harus disertai dengan edukasi moral dan pembentukan karakter digital. Tanpa etika, teknologi canggih sekalipun bisa disalahgunakan. Sebaliknya, tanpa sistem dan pengawasan, etika pun bisa lumpuh.
“Tujuan utama ekonomi Islam adalah mewujudkan kemaslahatan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Perang melawan scam bukan sekadar isu finansial, tapi juga jihad nilai,” ujarnya.
Indonesia membutuhkan solusi sistemik dan etis untuk menghadapi darurat scam digital. Pendekatan ekonomi syariah yang menggabungkan teknologi, regulasi, dan nilai moral menjadi tawaran yang layak dipertimbangkan.
Dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks, Indonesia tak hanya butuh teknologi pintar, tetapi juga hati yang jujur dan sistem yang adil.
Dengan memperkuat edukasi berbasis nilai, menerapkan sistem keamanan canggih, dan menjadikan etika sebagai fondasi transaksi digital, bangsa ini bisa keluar dari jerat scam dan membangun ekonomi digital yang bermartabat.